Author name: admin_nunomics

Komoditas Emas dalam Syariah: Sejak 25 Tahun Lalu Emas Bukan Sekedar Komoditas, Tapi Alat Nilai

Di tengah maraknya tren investasi emas yang dipromosikan sebagai komoditas kekinian, ada satu hal mendasar yang sering terlupakan: dalam perspektif syariah, emas sejatinya bukan sekadar produk investasi atau komoditas perdagangan. Emas adalah alat ukur nilai, standar yang telah ditetapkan sejak masa Rasulullah saw. hingga kini. Banyak orang melihat emas hanya dari kacamata pasar—naik turun harga, spekulasi, profit jangka pendek. Padahal, fungsi utama emas dalam fikih jauh lebih fundamental daripada sekadar aset yang diperjualbelikan. Emas adalah miqyas, tolok ukur nilai yang stabil dalam sistem ekonomi Islam. Emas sebagai Standar Nilai dalam Fikih Dalam literatur fikih klasik, emas dan perak disebut sebagai tsaman haqiqi atau harga sejati. Keduanya bukan sekadar benda berharga, tetapi standar nilai yang digunakan untuk mengukur harga barang dan jasa lainnya. Ini berbeda dengan uang kertas atau mata uang lain yang nilai intrinsiknya bisa berubah sesuai kebijakan moneter atau kondisi ekonomi. Para ulama sepakat bahwa emas memiliki posisi khusus dalam muamalah. Ia digunakan sebagai patokan dalam nisab zakat, mahar pernikahan, diyat, hingga standar hukum berbagai transaksi. Mengapa? Karena nilainya relatif stabil dan diakui secara universal sejak zaman Nabi Muhammad saw. Bahkan dalam sejarah, mata uang pada sebagian besar abad ke-19 hingga Perang Dunia I didukung oleh emas, sebagaimana terlihat dalam standar emas global yang menjadi indikator nilai yang dapat diandalkan. Ketika kita melihat emas sebagai standar nilai, bukan sebagai komoditas spekulatif, maka seluruh transaksi yang melibatkan emas menjadi lebih jelas dan adil. Tidak ada lagi permainan harga yang membingungkan, tidak ada manipulasi pasar, tidak ada unsur gharar atau ketidakpastian yang merugikan salah satu pihak. Transaksi Emas: Jernih dari Gharar Salah satu hikmah terbesar dari memahami emas sebagai alat nilai adalah kemurnian transaksi. Dalam fikih, jual beli emas memiliki ketentuan yang sangat ketat: harus yadan bi yadin (tunai), harus mitslan bi mitslin (sejenis dan setara) jika menukar emas dengan emas, dan harus dilakukan di tempat (majlis akad). Kenapa begitu ketat? Karena syariah ingin menjaga agar transaksi emas tidak menjadi ajang spekulasi atau riba. Emas bukan untuk dipermainkan dengan skema utang-piutang berjangka atau leverage. Emas adalah alat tukar yang harus dijaga kesuciannya dari unsur-unsur yang merusak keadilan ekonomi. Berdasarkan hadis ‘Ubadah bin al-Samit RA, Rasulullah saw bersabda: “(Ditukar) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama (jumlahnya) untuk yang sama, setara (kuantitasnya) untuk setara, tangan (dikirim) untuk tangan. Jika jenis-jenis ini berbeda, juallah sesuka Anda dan jangan menunda penyerahannya.” (Bulugh al-Maram, Kitab 7, Hadis 833). Ini menegaskan bahwa transaksi emas harus bebas dari riba al-nasiah (riba karena penundaan) dan harus dilakukan secara tunai. Di sinilah kita melihat bagaimana syariah memberi fondasi yang kokoh. Bukan sekadar aturan ritual, tapi sistem yang melindungi hak semua pihak dalam bertransaksi. Ketika emas diperlakukan sesuai prinsip syariah, maka tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang dieksploitasi. Bahkan dalam konteks digital sekarang, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Malaysia telah membolehkan penyerahan emas melalui akun digital sebagai bentuk penyerahan yang sah, asalkan transfer kepemilikan terjadi tanpa penundaan. Bukan Tren Hijrah, Tapi Fondasi Sejak Awal Belakangan ini, banyak yang menyebut kembali ke sistem berbasis emas sebagai bagian dari “hijrah finansial”. Seolah-olah ini adalah hal baru, sebuah gerakan modern untuk meninggalkan sistem konvensional. Padahal, ini bukan tren. Ini fondasi. Sejak awal Islam turun, emas sudah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi umat. Dinar dan dirham—koin emas dan perak—adalah mata uang resmi yang digunakan dalam berbagai transaksi pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Sistem ini bertahan ratusan tahun karena memang dibangun di atas prinsip keadilan dan stabilitas. Jadi, ketika kita bicara tentang kembali ke standar emas, kita bukan sedang mengikuti tren. Kita sedang kembali kepada prinsip yang sudah teruji selama empat belas abad. Prinsip yang tidak bergantung pada gejolak politik, inflasi mata uang fiat, atau kebijakan bank sentral yang sewaktu-waktu bisa berubah. Tantangan Investasi Emas Digital: Pelajaran dari Kasus Quantum Metal Seiring perkembangan teknologi, investasi emas kini telah berevolusi ke dalam bentuk digital. Platform seperti Quantum Metal Sdn. Bhd. (QMSB) menawarkan kemudahan investasi emas secara online. Namun, kemudahan ini harus disertai kehati-hatian ekstra. Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa platform investasi emas digital menghadapi masalah serius terkait kepatuhan syariah dan hukum. Salah satu isu krusial adalah penundaan pembayaran kepada investor yang melanggar prinsip taqabudh (pemilikan segera). Penundaan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan riba al-nasiah, tetapi juga merusak kepercayaan investor. Lebih mengkhawatirkan lagi, ada platform yang tidak terdaftar di Bank Negara Malaysia (BNM) atau Suruhanjaya Sekuriti (SC), yang merupakan syarat wajib untuk beroperasi dalam bisnis perdagangan emas di Malaysia. Ketiadaan registrasi ini bukan hanya melanggar regulasi, tetapi juga mempertanyakan legitimasi operasional dari perspektif syariah. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 59 yang memerintahkan ketaatan kepada ulil amri (pemerintah yang sah), maka mengabaikan regulasi pemerintah termasuk pelanggaran syariah. Kasus seperti ini mengingatkan kita pada skandal Genneva Malaysia Sdn Bhd yang merugikan sekitar 35,000 investor dengan kerugian mencapai RM450 juta. Genneva yang mengklaim sebagai perusahaan patuh syariah ternyata melanggar Akta Institusi Perbankan dan Kewangan 1989 (BAFIA) serta terlibat dalam pencucian uang. Dari sini kita belajar: tidak semua yang mengklaim “syariah-compliant” benar-benar memenuhi standar syariah. Transparansi, kejelasan kontrak, penyerahan fisik yang jelas, dan registrasi resmi adalah hal-hal non-negotiable dalam investasi emas syariah yang sesungguhnya. Kesadaran Generasi Muda: Antara Peluang dan Tantangan Riset terbaru di Terengganu, Malaysia menunjukkan fakta menarik: generasi muda Muslim memiliki tingkat kesadaran yang moderat terhadap investasi emas syariah. Dari 120 responden berusia 18-28 tahun, mayoritas adalah mahasiswa dengan pendapatan di bawah RM500 per bulan. Temuan ini mengungkapkan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, 91% responden menyadari perbedaan antara investasi emas syariah dan konvensional. Di sisi lain, hanya 45% yang aktif membaca isu-isu terkini tentang investasi emas syariah. Yang lebih mengkhawatirkan, 26% responden masih tidak yakin atau tidak mengetahui bahwa investasi emas konvensional yang melanggar syariah adalah haram. Gap pengetahuan ini berbahaya. Ketika seseorang tahu bahwa emas itu baik sebagai investasi alternatif (89% setuju), tapi tidak memahami detail syaratnya, mereka rentan terjebak dalam skema investasi yang tidak sesuai syariah. Inilah yang terjadi pada ribuan korban Genneva—mereka tertarik pada label “syariah” tanpa memahami substansinya. Generasi muda juga menghadapi kendala finansial. Dengan

Geopolitik menyebakan orang kembali melirik emas

Ketika Dunia Gelisah Karena Tragedi Geopolitik, 55% Orang Berpotensi Kembali ke Emas

Ada pola yang selalu berulang sepanjang sejarah manusia: ketika dunia berguncang karena geopolitik yang terjadi, orang mencari sesuatu yang nyata untuk dipegang. Bukan janji-janji di atas kertas. Bukan angka digital di layar komputer. Melainkan sesuatu yang sudah teruji ribuan tahun—emas. Tahun 2025 membuktikan kembali pola ini. Harga emas menembus rekor demi rekor, melonjak lebih dari 50% sejak awal tahun, bahkan mencapai puncak di atas $4.300 per ons. Ini bukan sekadar tren pasar biasa. Ini adalah sinyal ketakutan global yang terterjemahkan dalam logam mulia. Perang, Geopolitik, dan Kehilangan Kepercayaan Mengapa emas? Karena ketika dunia tidak menentu, kepercayaan pada uang kertas mulai goyah. Konflik Rusia-Ukraina terus berlangsung, ketegangan di Timur Tengah meningkat, dan persaingan antara Amerika Serikat dengan China semakin tajam. Semua ini menciptakan apa yang disebut ekonom sebagai “lingkungan kaya katalis” untuk emas. Yang membuat situasi 2025 berbeda dari masa lalu adalah intensitas pembelian oleh bank sentral. Bank sentral global telah membeli lebih dari 1.000 ton emas setiap tahun sejak 2022, laju tercepat dalam sejarah modern. China, India, Turki, Kazakhstan—negara-negara ini bukan sekadar diversifikasi portofolio. Mereka sedang membangun benteng pertahanan ekonomi. Pembekuan cadangan mata uang Rusia oleh Barat setelah invasi Ukraina pada 2022 menjadi momen pencerahan bagi banyak negara. Mereka menyadari: jika cadangan devisa Anda bisa dibekukan dengan satu ketukan tombol, apakah itu benar-benar milik Anda? Emas tidak bisa dibekukan. Tidak bisa dihapus dari sistem. Emas adalah nyata, fisik, dan berada di bawah kontrol penuh pemiliknya. Flight to Safety: Pelarian ke Zona Aman Istilah “flight to safety” dalam bahasa ekonomi berarti perpindahan modal dari aset berisiko tinggi ke aset yang dianggap lebih aman. Ketika ketidakpastian meningkat, investor menjual saham dan obligasi berisiko, lalu membeli emas. Ini bukan spekulasi—ini survival instinct yang terstruktur dalam pasar keuangan. Yang menarik dari tahun 2025, bahkan obligasi pemerintah Amerika Serikat—yang selama lebih dari seabad dianggap sebagai aset teraman di dunia—mengalami penurunan permintaan pada bulan April. Di saat yang sama, emas justru mengalami aliran dana masuk yang luar biasa besar. Artinya? Kepercayaan terhadap sistem moneter konvensional sedang terkikis. Emas mencatat kenaikan tahunan terkuat sejak 1979, tahun ketika dunia juga bergulat dengan inflasi tinggi dan ketegangan geopolitik yang serupa. Sejarah berulang, tapi dengan aktor yang berbeda. Investor Institusi Ikut Masuk Bukan hanya negara. Investor institusi besar—dana pensiun, hedge funds, asuransi—juga meningkatkan alokasi mereka ke emas. Total kepemilikan ETF emas global naik sebesar 397 ton pada semester pertama 2025, level tertinggi sejak Agustus 2022. Ini bukan uang kecil—ini triliunan dolar yang mencari perlindungan. J.P. Morgan memperkirakan harga emas akan mencapai rata-rata $3.675 per ons pada kuartal keempat 2025 dan naik mendekati $4.000 pada pertengahan 2026. Proyeksi ini bukan spekulasi semata, melainkan berdasarkan pola permintaan struktural dari bank sentral dan investor yang terus berlanjut. Yang unik dari siklus kenaikan emas kali ini: bank sentral membeli emas tanpa mempedulikan harga. Mereka tidak trading untuk profit jangka pendek. Mereka membeli untuk menjaga stabilitas jangka panjang. Ini menciptakan “lantai harga” struktural—harga tidak akan jatuh terlalu dalam karena ada pembeli tetap yang tidak pernah berhenti. Dollar Melemah, Emas Menguat Ada hubungan terbalik antara dolar Amerika dan emas. Ketika dolar melemah, emas biasanya menguat. Tahun 2025, dolar mengalami penurunan terburuk sejak 1973. Ini bukan kebetulan. Mayoritas responden survei World Gold Council (73%) melihat kepemilikan dolar di cadangan global akan menurun secara moderat atau signifikan dalam lima tahun ke depan. Ini adalah pergeseran monumental. Selama puluhan tahun, dolar adalah raja mata uang dunia. Kini, tahta itu mulai goyah. Negara-negara yang ingin mengurangi ketergantungan pada dolar—terutama yang berada di luar aliansi geopolitik Barat—memilih emas sebagai alternatif. Antara 2020 dan 2025, alokasi emas di cadangan bank sentral negara-negara ini meningkat dari rata-rata 8% menjadi hampir 15%. Ini bukan sekadar diversifikasi portofolio. Ini adalah upaya “de-dollarisasi”—mengurangi dominasi dolar dalam sistem moneter global. Dan emas adalah instrumen utama dalam proses tersebut. Inflasi yang Tak Kunjung Reda Faktor lain yang mendorong emas adalah inflasi yang persisten. Inflasi di negara-negara maju diperkirakan akan tetap di atas 2% hingga 2026 dan 2027. Ketika uang kertas kehilangan daya belinya, emas mempertahankan nilainya. Emas tidak menghasilkan bunga atau dividen. Tapi itulah kelebihannya—tidak ada janji yang bisa diingkari. Tidak ada risiko default. Tidak ada pemerintah yang bisa mencetak lebih banyak emas untuk menyelesaikan masalah fiskalnya. Pasokan emas hanya tumbuh 1-2% per tahun melalui penambangan, menciptakan kelangkaan alami yang menjaga daya beli dalam jangka panjang. Di Saat Goyah, Apa Peganganmu? Dalam dunia yang semakin tidak stabil—di mana perang bisa pecah tanpa peringatan, sanksi ekonomi bisa dikenakan dalam semalam, dan nilai mata uang bisa jatuh dalam hitungan jam—pertanyaan ini menjadi semakin relevan: apa yang benar-benar bisa Anda pegang? Emas bukan jaminan keuntungan cepat. Harganya bisa berfluktuasi. Tapi selama ribuan tahun, emas telah membuktikan dirinya sebagai penyimpan nilai yang andal di tengah kekacauan. Ketika sistem-sistem yang dibangun manusia runtuh, emas tetap berdiri. World Gold Council memperkirakan bahwa dalam kondisi ekonomi stagflasi atau resesi, emas bisa naik tambahan 10-15% pada paruh kedua 2025. Tapi bahkan tanpa proyeksi optimis itu, satu hal sudah jelas: dalam era ketidakpastian, emas bukan lagi sekadar aset. Emas adalah benteng terakhir. Jadi ketika dunia berguncang—dan sepertinya akan terus begitu—orang kembali ke emas. Bukan karena spekulasi. Bukan karena tren. Tapi karena sejarah telah mengajarkan mereka: ketika semua yang lain gagal, emas tetap bertahan. Nunomics: Solusi Emas Syariah untuk Indonesia Di tengah kegamangan global yang mendorong orang kembali ke emas, muncul pertanyaan praktis: bagaimana masyarakat Indonesia—khususnya muslim—bisa mengakses emas dengan cara yang mudah dan sesuai syariah? Nunomics hadir sebagai jawaban. Platform jaringan ekonomi digital syariah ini dibentuk atas inisiatif generasi pejuang Nahdlatul Ulama untuk meningkatkan kualitas hidup muslim Indonesia. Nunomics memungkinkan pengguna menabung emas fisik secara digital yang tersimpan di vault, terhindar dari gharar dan sesuai syariat Islam. Platform ini berizin resmi BAPPEBTI dan diawasi Kementerian Perdagangan. Yang membedakan Nunomics adalah integrasinya dengan kehidupan beragama muslim: tabungan haji dan umrah, sedekah digital melalui LAZIS terpercaya, hingga pembayaran tagihan dalam satu ekosistem. Dengan modal mulai Rp100.000, siapa pun bisa memulai—membawa akses emas ke tangan masyarakat luas. Di era ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang mendorong flight to safety, Nunomics menjembatani kebutuhan perlindungan aset dengan nilai-nilai keislaman. Ketika bank sentral

Aset Digital Seperi Crypto dan Emas Digital

3 Contoh Aset pada Dunia Digital seperti Crypto, AI, dan Emas: Apakah Masa Depan Hybrid akan Terlaksanakan?

Dunia Digital Tetap Butuh Aset Riil Saat teknologi berkembang pesat, kita seringkali terjebak dalam euforia inovasi dunia digitaldimulai dari blockchain yang merevolusi keuangan, hingga kecerdasan buatan yang mengubah cara kerja industri. Namun, di tengah gelombang digitalisasi yang masif ini, sebuah pertanyaan fundamental muncul: apakah dunia yang serba digital ini benar-benar bisa melepaskan diri dari aset riil? Jawabannya mengejutkan: tidak. Bahkan, konvergensi antara cryptocurrency, AI, dan emas justru menciptakan ekosistem hybrid yang lebih kuat—sebuah masa depan di mana teknologi dan prinsip investasi tradisional berjalan beriringan. Tokenisasi Emas: Jembatan Antara Dua Dunia Selama ribuan tahun, emas telah menjadi simbol keamanan dan penyimpan nilai. Namun, kepemilikan emas fisik selalu memiliki tantangan: biaya penyimpanan yang tinggi, likuiditas terbatas, dan hambatan geografis. Tokenisasi emas hadir sebagai solusi revolusioner yang menggabungkan keandalan emas dengan efisiensi blockchain. Tokenisasi emas adalah proses mengubah emas fisik menjadi token digital yang dapat diperdagangkan 24/7 di platform blockchain. Setiap token mewakili kepemilikan sejumlah emas tertentu yang disimpan di brankas teregulasi. Inovasi ini tidak hanya meningkatkan likuiditas, tetapi juga membuka akses kepada investor kecil melalui kepemilikan fraksional. Data dari World Gold Council menunjukkan bahwa permintaan emas dalam bentuk ETF yang didukung emas melonjak 23% pada tahun 2020, dengan arus masuk bersih mencapai 877 ton senilai lebih dari $48 miliar. Tren ini membuktikan bahwa investor semakin tertarik pada versi digital dari aset riil. Platform seperti Tether Gold telah menunjukkan potensi besar dengan kapitalisasi pasar yang melampaui $500 juta pada tahun 2021. Transparansi blockchain memastikan bahwa setiap token benar-benar didukung oleh emas fisik, memberikan kepercayaan yang tidak mungkin dicapai di pasar tradisional. Bitcoin Miner: Dari Crypto ke Infrastruktur AI Sementara tokenisasi emas menghubungkan aset fisik dengan dunia digital, para penambang Bitcoin mengalami transformasi yang tak kalah menarik. Infrastruktur yang awalnya dibangun untuk menambang cryptocurrency kini menjadi aset berharga dalam era kecerdasan buatan. Frank Holmes dari Hive Digital Technologies menjelaskan bahwa membangun pusat data dari awal membutuhkan waktu tiga tahun. Namun, mengubah pusat data penambangan Bitcoin menjadi pusat data AI hanya memerlukan sembilan bulan. Efisiensi ini menempatkan Bitcoin miner dalam posisi strategis untuk memanfaatkan ledakan permintaan komputasi AI. Kasus TeraWulf menjadi bukti nyata: sahamnya melonjak hampir 60% dalam satu hari setelah mendapatkan kesepakatan senilai $3,2 miliar dengan Alphabet. Investor institusional seperti Citadel Securities mulai mengakuisisi saham perusahaan penambangan crypto yang beralih ke AI, seperti kepemilikan 5,4% mereka di Hive Digital. Yang menarik, valuasi Bitcoin miner masih jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan pusat data konvensional. Holmes mencatat bahwa Bitcoin miner seperti Hive diperdagangkan kurang dari 2 kali EBITDA, sementara ETF pusat data diperdagangkan pada 20 kali EBITDA. Kesenjangan valuasi ini menciptakan peluang investasi yang signifikan. Kevin O’Leary dari Shark Tank menganalogikannya dengan masa demam emas: “Jika saya harus mulai berinvestasi dalam emas 300 tahun yang lalu, saya akan berinvestasi dalam emas, penambang emas, perusahaan yang membuat jeans, pick, dan sekop. Dan saya akan melakukannya jauh lebih baik daripada hanya memiliki emas.” Konvergensi: Mengapa Dunia Digital Butuh Aset Riil Pola yang muncul dari kedua fenomena ini sangat jelas: teknologi digital tidak menggantikan aset riil, melainkan meningkatkan nilainya. Emas tetap menjadi penyimpan nilai, tetapi kini dapat diperdagangkan dengan likuiditas cryptocurrency. Infrastruktur penambangan Bitcoin tetap bernilai, bahkan lebih berharga ketika dapat mendukung komputasi AI. Ini bukan paradoks—ini adalah evolusi logis. Dunia digital dibangun di atas fondasi fisik: pusat data membutuhkan listrik dan infrastruktur, stablecoin membutuhkan aset pendukung, dan investor tetap mencari safe haven di tengah volatilitas pasar. Bank sentral Rusia bahkan mempertimbangkan tokenisasi cadangan emas sebagai strategi diversifikasi dari dolar AS. Ini menunjukkan bahwa bahkan institusi besar menyadari nilai dari menggabungkan aset riil dengan teknologi digital. Pasar AI sendiri membuktikan bahwa hasil nyata lebih penting dari hype. OpenAI beralih dari menghasilkan $0 menjadi $1 miliar dalam pendapatan bulanan dalam kurang dari dua tahun—bukti bahwa AI bukan sekadar gelembung spekulatif seperti era dotcom, melainkan menghasilkan nilai ekonomi riil. Prinsip yang Bertahan Di tengah semua inovasi teknologi, beberapa prinsip investasi fundamental tetap relevan: Diversifikasi tetap krusial. Kombinasi crypto, saham perusahaan AI, dan aset berbasis emas menciptakan portofolio yang lebih resilient. Aset riil tetap penting. Bahkan dalam bentuk digital, aset yang didukung oleh sesuatu yang nyata—entah emas fisik atau infrastruktur pusat data—memberikan kepercayaan lebih tinggi kepada investor. Likuiditas adalah kunci. Tokenisasi dan digitalisasi meningkatkan likuiditas aset tradisional, membuat pasar lebih efisien dan inklusif. Transparansi teknologi membangun kepercayaan. Blockchain memberikan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tidak mungkin dicapai sistem tradisional. Apakah NUNOMICS.ID Bisa Bersaing untuk Hal Itu Kedepannya? Menariknya, Indonesia memiliki pemain lokal yang sudah bergerak di persimpangan antara emas fisik dan teknologi digital: NUNOMICS.ID. Platform ini lahir dari inisiatif generasi Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di dunia dengan lebih dari 100 juta anggota dan pengikut. NUNOMICS meluncurkan aplikasinya secara resmi pada 14 November 2024 sebagai platform keuangan yang mematuhi prinsip syariah. Yang membedakan NUNOMICS adalah fokusnya pada emas fisik—bukan sekadar emas digital. Platform ini menawarkan transaksi emas fisik dengan kemurnian 999,9 yang disimpan di vault dan diawasi langsung oleh Bappebti, Jakarta Futures Exchange (JFX), dan Kliring Berjangka Indonesia (KBI). Berbeda dengan cryptocurrency konvensional yang pernah dinyatakan haram oleh sebagian ulama NU pada Oktober 2021 karena dianggap spekulatif dan mengandung unsur gharar (ketidakpastian), NUNOMICS mengambil pendekatan yang lebih diterima secara syariah dengan berbasis pada aset riil. Platform ini bekerja sama dengan Kinesis Monetary Indonesia dan PT Pos Indonesia untuk pengelolaan penyimpanan fisik emas. Keunggulan Kompetitif NUNOMICS: NUNOMICS memiliki beberapa keunggulan strategis untuk bersaing di pasar hybrid crypto-AI-emas: Legitimasi Syariah. Dengan dukungan NU dan kepatuhan penuh terhadap prinsip syariah, NUNOMICS memiliki akses ke pasar Muslim Indonesia yang sangat besar—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Ini memberikan keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki platform global. Regulasi Lokal. Diawasi oleh Bappebti dan lembaga regulasi lokal lainnya, NUNOMICS beroperasi dalam kerangka hukum yang jelas di Indonesia. Ini mengurangi risiko regulatori yang sering menghantui platform cryptocurrency global. Aksesibilitas. Transaksi bisa dimulai dari 0,01 gram emas dengan menggunakan harga pasar dunia yang dinamis. Ini membuka akses ke segmen pasar yang lebih luas, termasuk investor kecil yang selama ini terhalang oleh harga emas yang mahal. Ekosistem Terintegrasi. NUNOMICS tidak hanya menawarkan investasi emas, tetapi juga layanan turunan seperti

Harga Emas Tetap Terjaga?

Kenapa Muslim Perlu Paham Tentang Nilai dan Harga Emas, Bukan Harga? Selama 5 Tahun Harga Emas Naik Turun, Nilai Emas Terjaga

Pernahkah Anda berpikir mengapa banyak orang panic buying emas ketika harga emas naik, tetapi panik menjual ketika harga jatuh? Ini karena kebanyakan kita hanya melihat harga emas, bukan nilai. Padahal, ajaran Islam mengajarkan sesuatu yang lebih mendalam: nilai sebenar aset terletak pada keberkahan dan fungsinya, bukan sekadar angka di layar. Dalam dunia investasi emas yang semakin populer—terutama di kalangan generasi muda Muslim—memahami perbedaan antara harga dan nilai bukan sekadar teori ekonomi; ini adalah prinsip syariah yang fundamental. Emas dalam Perspektif Syariah: Lebih dari Sekadar Komoditas Emas telah lama dianggap sebagai medium pertukaran yang dapat dipercaya dan penyimpan nilai karena sifat dan fungsinya yang berkaitan dengan uang (Wan Jusoh & Harun, 2024). Namun, dalam Islam, emas bukan sekadar aset fisik—ia adalah ribawi item yang mempunyai peraturan khusus. Hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan: “(Bertukar) emas dengan emas, perak dengan perak… sama (jumlah) untuk sama, setara (kuantitas) untuk setara, tangan (diserahkan) untuk tangan. Jika jenis-jenis ini berbeda, jual sebagaimana yang kalian mau dan jangan tunda penyerahan.”(Bulugh al-Maram, Kitab 7, Hadits 833) Ini berarti transaksi emas dalam Islam harus bebas dari: Nilai Emas vs Harga Emas: Apa Bedanya? Harga adalah angka yang berubah setiap hari, dipengaruhi oleh spekulasi pasar, sentimen investor, dan faktor ekonomi global. Ia bisa naik 10% hari ini, turun 15% besok. Nilai, sebaliknya, adalah fungsi intrinsik emas sebagai: Kajian menunjukkan bahwa banyak investor Muslim terjebak dalam skema investasi emas konvensional yang berbasis riba tanpa menyadari bahwa ia bertentangan dengan hukum syarak (Mas’ad et al., 2019). Ini membuktikan bahaya fokus pada harga semata tanpa memahami nilai dan kepatuhan syariah. Mengapa Generasi Muda Perlu Memahami Ini? Kajian terkini menunjukkan sesuatu yang mengejutkan: sebagian besar generasi muda tidak yakin atau tidak menyadari bahwa investasi emas konvensional bisa menjadi haram jika tidak patuh syariah (Wan Jusoh & Harun, 2024). Lebih memprihatinkan, walaupun banyak yang setuju emas adalah aset alternatif yang baik, literasi tentang investasi emas patuh syariah masih rendah di kalangan generasi muda. Mengapa Ini Terjadi? Prinsip Syariah dalam Investasi Emas: Panduan Praktis Menurut Shariah Standard No. 57 yang dikeluarkan AAOIFI bersama World Gold Council pada November 2016, investasi emas patuh syariah harus memenuhi syarat berikut: Jangan Terjebak dengan Spekulasi! Kajian memberi peringatan: banyak investor tergoda dengan janji return tinggi tanpa paham konsep dasar (Ahmad Razimi et al., 2017). Islam melarang maysir, dan spekulasi berlebihan dalam emas dapat dikategorikan sebagai maysir. Tanda-tanda investasi emas bermasalah: Kesalahan Umum yang Harus Dihindari Solusi Nyata: NUNOMICS untuk Muslim Indonesia Di tengah tantangan ekonomi global, muncul pertanyaan penting: bagaimana umat Muslim Indonesia bisa melindungi nilai waktu dan kerja keras mereka secara syariah? Jawabannya hadir melalui NUNOMICS.id —platform jaringan ekonomi digital syariah yang diinisiasi generasi pejuang Nahdlatul Ulama. Tabungan Emas Fisik yang Benar-benar Aman NUNOMICS menyediakan tabungan emas fisik yang: Ini menjawab kekhawatiran tentang “paper gold” yang tidak jelas keberadaannya. Kesimpulan: Harga Naik Turun, Nilai Dijaga Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ekonomi, ajaran Islam menekankan: jangan terperangkap pada harga yang berubah-ubah, tetapi pahami nilai, keberkahan, dan kepatuhan syariah. Emas yang dibeli dengan niat benar, mengikuti prinsip syariah, dan dengan ilmu yang cukup—itulah investasi yang membawa keberkahan, bukan sekadar keuntungan dunia. Seperti ditekankan dalam banyak kajian, investor Muslim perlu membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mendalam tentang fiqh emas, bukan sekadar ikut tren (Juisin et al., 2023). Tingkatkan ilmu, pahami nilai, jaga keberkahan. Daftar Pustaka Ahmad Razimi, M. S., Romle, A. R., & Azizan, K. A. (2017). An understanding of shariah issues on gold investment: A review. Asian Journal of Business Management Studies (AJBMS), 8(1), 9-12. https://www.idosi.org/ajbms/8(1)17/3.pdf Juisin, H. A., Mohd Sayuthi, M. A. S., Amin, H., & Shaikh, I. M. (2023). Determinants of Shariah gold investment behaviour: The case of Penang, Malaysia. Journal of Islamic Marketing, 14(2), 3228-3246. https://doi.org/10.1108/JIMA-11-2021-0360 Mas’ad, M. A., Rozali, M. E. A., Wan Ismail, W. A. F., & Johari, F. (2019). Gold investment practices in Malaysia: A Shariah review. Journal of Fatwa Management and Research, 13(1), 215-231. https://doi.org/10.33102/jfatwa.vol13no1.184 Nawaz, N., & Sudindra, V. R. (2013). A study on various forms of gold investment. SSRN Electronic Journal, 1-18. https://doi.org/10.2139/ssrn.3525301 Sugiastuti, R. H., Friseyla, V., & Pramesti, R. (2024). How financial literacy and investment knowledge influence gold investment decisions. Profit: Jurnal Administrasi Bisnis, 18(2), 257-272. Tabadulat. (n.d.). Is gold a halal investment? Tabadulat Blog. Retrieved from https://blog.tabadulat.com/is-gold-a-halal-investment/ Wan Jusoh, W. N. H., & Harun, A. (2024). Golden horizons: Investigating Shariah-compliant gold investment awareness among youth. International Journal of Social Science Research, 12(2), 356-374. https://doi.org/10.5296/ijssr.v12i2.22063World Gold Council & AAOIFI. (2016). Shariah Standard No. 57: Gold and its trading controls. Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions.

Fiat vs Emas

Fiat vs Emas: 2 Cara Melihat Waktu yang Berharga

Bayangkan sebuah jam pasir. Butiran pasir yang jatuh melambangkan waktu yang berlalu, tak bisa diulang, tak bisa ditawar. Dalam hidup kita, waktu adalah amanah paling berharga. Begitu pula dengan nilai uang yang kita simpan—seharusnya menjaga waktu kerja kita, keringat kita, pengorbanan kita. Tapi kenyataannya? Uang kertas terus menurun, sementara emas tetap berdiri tegak menjaga nilainya. Ketika Uang Kertas Kehilangan Maknanya Tahun 1971 menjadi titik balik besar dalam sejarah ekonomi dunia. Amerika Serikat secara resmi meninggalkan sistem standar emas dan beralih sepenuhnya ke sistem uang fiat—uang yang nilainya tidak lagi dijamin oleh cadangan emas, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan dan keputusan pemerintah. Sejak saat itu, tidak ada satu pun negara di dunia yang masih mengikat mata uangnya dengan emas. Dalam sistem fiat, dolar hanyalah unit akuntansi. Uang kertas tidak lagi dapat ditukar dengan emas atau aset lainnya. Uang beredar karena praktis digunakan untuk transaksi dan ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Tapi inilah masalahnya: tanpa jangkar yang kokoh, nilai uang fiat terus terkikis oleh inflasi. Selama lima tahun terakhir, dolar AS kehilangan 25% daya belinya—yang dulunya senilai satu dolar kini hanya setara dengan 75 sen. Lebih dramatis lagi, Euro telah kehilangan hampir 90% nilainya terhadap emas dalam 25 tahun terakhir. Bayangkan, uang yang Anda simpan di bank perlahan-lahan kehilangan kemampuannya membeli barang yang sama. Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah waktu hidup kita yang dicuri secara diam-diam. Waktu yang kita habiskan bekerja, menabung, berharap masa depan lebih baik—tapi sistem moneter justru menggerogoti nilai simpanan kita. Emas: Penjaga Waktu yang Setia Sementara uang kertas merosot, emas menceritakan kisah yang berbeda. Selama lebih dari satu abad, emas mempertahankan daya belinya, mengamankan jumlah barang dan jasa yang sama seperti seratus tahun yang lalu. Sebuah koin emas dari tahun 1933, jika masih Anda pegang hari ini, tetap memiliki nilai yang setara untuk membeli kebutuhan hidup. J.P. Morgan, seorang finansir Amerika yang legendaris, pernah berkata dengan tegas: “Gold is money; everything else is credit.” Emas adalah uang; segala yang lain hanyalah kredit. Pernyataan ini kini bergema lebih keras dari sebelumnya. Harga emas baru-baru ini mencapai sekitar $2.700 per ons, menandai rekor tertinggi dalam sejarah. Kenaikan ini bukan kebetulan—ini adalah cerminan dari ketidakpercayaan yang tumbuh terhadap mata uang fiat di tengah inflasi global yang meningkat. Dunia Bergeser, Negara-negara Menimbun Emas Pergeseran ini bukan hanya dialami individu. Negara-negara besar di dunia sedang diam-diam mengubah strategi ekonomi mereka. Bank-bank sentral di Asia, dari China hingga Arab Saudi, secara diam-diam menimbun emas, menandai pergeseran strategis. China khususnya telah mengurangi kepemilikan obligasi pemerintah AS sambil mengakumulasi emas untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. Rusia, di bawah tekanan sanksi ekonomi, justru meningkatkan cadangan emasnya hingga lebih dari 32,5% dari total cadangan devisa. Emas menjadi perisai ekonomi mereka melawan volatilitas mata uang dan sanksi internasional. Blok BRICS, yang mewakili 45% populasi dunia, bertujuan mengurangi ketergantungan pada dolar. Dari 193 negara, 159 telah bergabung dalam sistem penyelesaian BRICS yang baru. Ini bukan lagi teori konspirasi—ini adalah realitas geopolitik yang sedang terjadi di depan mata kita. Utang yang Menumpuk, Kepercayaan yang Runtuh Mengapa negara-negara berbondong-bondong mencari alternatif dari dolar? Salah satu alasan utamanya adalah utang yang menumpuk hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Utang publik AS telah melonjak menjadi $35,7 triliun, atau 122% dari PDB. Yang lebih mencengangkan: Amerika Serikat membutuhkan lebih dari 200 tahun untuk mengakumulasi utang senilai $12 triliun, namun hanya butuh lima tahun untuk menggandakan angka tersebut. Di Inggris, tingkat utang mencapai 100% dari PDB—tertinggi sejak tahun 1960-an. Bedanya, utang masa kini bukan karena perang, melainkan cerminan ketidakseimbangan struktural antara pengeluaran publik dan pendapatan pajak. IMF memperingatkan bahwa utang global akan melampaui $100 triliun tahun ini—angka yang belum pernah terjadi dalam sejarah. Di AS, hanya untuk membayar bunga utang saja menghabiskan $1,2 triliun per tahun—sekitar 23% dari seluruh pendapatan pajak, tarif, dan biaya yang dikumpulkan. Ini adalah lingkaran setan: utang memicu pencetakan uang, pencetakan uang memicu inflasi, inflasi menghapus nilai simpanan rakyat. Emas Bukan Hanya untuk Disimpan Keunggulan emas bukan hanya sebagai penyimpan nilai. Sifat unik emas membuatnya vital di berbagai industri: menghidupkan teknologi dengan konduktivitasnya, membantu kesehatan dengan deteksi penyakit dan implan tahan bakteri, serta meningkatkan kedirgantaraan dengan menstabilkan suhu dan memantulkan sinar berbahaya. Artinya, permintaan terhadap emas tidak hanya datang dari investor yang mencari perlindungan nilai, tetapi juga dari industri-industri strategis yang terus berkembang. Ini membuat emas memiliki nilai intrinsik yang tidak dimiliki oleh uang kertas. Peringatan Penting: Paper Gold vs Physical Gold Namun ada satu peringatan krusial bagi siapa pun yang ingin berinvestasi emas. Tahukah Anda bahwa ada 131 ons emas kertas untuk setiap ons emas fisik yang sesungguhnya? Jika Anda berinvestasi, pastikan itu dalam bentuk emas fisik, bukan “emas kertas” yang hanya berupa sertifikat atau derivatif. Sistem keuangan modern telah menciptakan begitu banyak klaim atas emas yang sebenarnya tidak ada secara fisik. Jika suatu saat terjadi rush atau permintaan besar-besaran untuk menebus emas fisik, sistem ini bisa runtuh seperti rumah kartu. Pelajaran dari Sejarah Sejarah menunjukkan pola yang jelas: mata uang fiat cenderung terdevaluasi seiring waktu. Ekonom Austria Friedrich Hayek pernah mencatat dengan tajam: “The gold standard has been destroyed chiefly because it was an obstacle to inflation”—standar emas dihancurkan terutama karena menjadi penghalang bagi inflasi. Pemerintah membutuhkan fleksibilitas untuk mencetak uang guna membiayai program-program mereka, membayar utang, atau merangsang ekonomi. Standar emas membatasi fleksibilitas ini. Maka standar emas pun ditinggalkan. Peter Schiff, seorang ekonom dan kritikus vokal sistem fiat, berargumen bahwa cacat bawaan dalam mata uang fiat akan mengarah pada pergeseran tak terhindarkan menuju uang yang dijamin dengan aset. Kita sedang menyaksikan pergeseran ini terjadi di depan mata kita. Waktu Itu Amanah—Dijaga, Bukan Dibiarkan Kembali ke metafora jam pasir kita di awal. Setiap butir pasir yang jatuh adalah waktu yang berlalu. Waktu yang kita gunakan untuk bekerja, berkeringat, berjuang menghidupi keluarga. Nilai dari waktu itu seharusnya dijaga, bukan dibiarkan terkikis oleh sistem yang secara sistematis mengurangi daya beli uang kita. Emas menawarkan sesuatu yang tidak bisa ditawarkan uang kertas: stabilitas nilai lintas generasi. Sementara mata uang fiat turun seperti pasir yang jatuh, emas tetap berdiri tegak, menjaga nilai waktu dan kerja keras kita. Ini bukan ajakan untuk meninggalkan sepenuhnya

Bank Sentral Mendesak Pengumpulan Emas

75% Bank Sentral Dunia Mendesak Mengumpulkan Emas: Apa yang Mereka Tahu dan yang Kita Tidak?

Ketika negara-negara besar mulai menimbun emas, mungkin sudah saatnya kita bertanya: sinyal apa yang sebenarnya mereka tangkap? Pendahuluan Sementara publik sibuk memantau fluktuasi mata uang, inflasi, dan naik-turunnya pasar saham, sebuah tren senyap tengah berlangsung di balik dinding baja brankas bank sentral dunia: mereka membeli dan mempertahankan emas dalam jumlah besar. Fenomena ini bukan kebetulan. Ia adalah strategi. Lebih tepatnya—strategi yang mencerminkan pandangan mendalam tentang arah stabilitas ekonomi global. Fenomena Kepemilikan Emas oleh Bank Sentral Pola Pasif yang Bertahan Puluhan Tahun Penelitian dari National Bureau of Economic Research (NBER) menemukan pola menarik sepanjang 1979–2010. Bank sentral negara maju mempertahankan cadangan emas mereka secara pasif. Naik atau turun, harga emas nyaris tidak mengubah kebijakan mereka. Terlepas dari fluktuasi pasar, sebagian besar bank sentral memilih untuk diam. Mereka tetap memegang emas, seakan tahu sesuatu yang tidak diumumkan ke publik. Sinkronisasi Penjualan yang Jarang Dibicarakan Yang lebih menarik: saat mereka menjual emas, mereka melakukannya secara serempak.Jika setiap bank sentral benar-benar independen, seharusnya penjualan dilakukan secara bertahap untuk meredam dampak pasar. Namun sejarah mencatat: aksi penjualan emas mereka jarang sekali tidak terkoordinasi. Emas Sebagai Simbol Kekuatan Global Korelasi Emas dan Status Kekuatan Dunia Studi Aizenman & Inoue menunjukkan bahwa intensitas kepemilikan emas berkorelasi erat dengan kekuatan global suatu negara.Mantan kekaisaran, negara dengan ekonomi raksasa, atau negara pemegang mata uang kunci cenderung menimbun emas. Mereka memandang emas bukan sebagai aset biasa—melainkan tanda status ekonomi. Pemilik Emas Terbesar Dunia (November 2011) Data ini bukan sekadar angka; ini mencerminkan filosofi bahwa emas adalah simbol kekuatan dan kredibilitas ekonomi. Mengapa Bank Sentral Menimbun Emas? Emas sebagai Safe Haven Meski return emas sering kalah dari obligasi pemerintah AS, emas tetap menjadi aset perlindungan nilai paling konsisten selama turbulensi global. Saat krisis finansial 2008–2009 memuncak, emas berfungsi sebagai benteng nilai—terutama bagi negara maju. Loss Aversion dan Politik Pelaporan Banyak bank sentral tidak melaporkan nilai emas dalam statistik cadangan resmi.Alasannya bersifat politis: Keengganan melaporkan ini sebenarnya memperkuat satu pesan: mereka ingin memegang emas besar-besaran—tanpa menarik perhatian. Kebangkitan Emerging Markets dalam Akumulasi Emas China: Mengurangi Ketergantungan pada Dolar Pada 2011, China memegang 1.054,1 ton emas.Dengan cadangan devisa terbesar di dunia, China menggunakan emas untuk mendiversifikasi eksposurnya terhadap dolar AS. India: Menegaskan Diri sebagai Kekuatan Ekonomi India mengejutkan dunia ketika membeli 200 ton emas dari IMF pada 2009—sebuah deklarasi ekonomi yang kuat.Pada 2011, mereka memiliki 557,7 ton emas. Rusia: Akumulasi Bertahap tapi Konsisten Rusia terus meningkatkan kepemilikan emasnya, mencapai 873,6 ton pada 2011.Semua ini sejalan dengan strategi mereka membangun otonomi ekonomi dari Barat. Studi Kasus: Portugal dan Warisan Sejarah Portugal memiliki cadangan emas besar yang diperoleh selama Perang Dunia II. Namun ironisnya, emas tersebut tak dapat dijual untuk mengurangi utang negara akibat berbagai batasan institusional dan politik. Kasus ini menunjukkan bahwa kepemilikan emas tidak murni persoalan ekonomi—ada jejak sejarah dan politik di sana. Central Bank Gold Agreement: Koordinasi Global Pada 1999, lima belas bank sentral Eropa menciptakan Central Bank Gold Agreement (CBGA) untuk menghentikan penjualan emas yang tidak terkoordinasi dan menekan pasar. Mereka sepakat: Yang menarik: penjualan sebenarnya jauh di bawah batas tersebut.Bank sentral tetap memilih menahan emas—bahkan ketika diizinkan menjualnya. Temuan Empiris: Apa Kata Data? Penelitian dengan data panel 22 negara maju (1979–2010) menemukan: Dengan kata lain: semakin kuat suatu negara, semakin besar kemungkinan ia mengunci emasnya. Implikasi bagi Investor Individu Jika bank sentral—institusi dengan analis terbaik dan akses informasi paling murni—tetap memegang emas, maka ada pesan penting untuk kita: Aplikasi Praktis Tanpa harus meniru bank sentral, kita bisa menerapkan prinsip berikut: Kesimpulan Emas tetap memegang posisi unik dalam kebijakan bank sentral: disimpan secara pasif, dilaporkan minimal, namun dipertahankan secara gigih. Ia adalah simbol kekuatan ekonomi, penanda stabilitas, dan benteng nilai di tengah ketidakpastian global. Jika negara dengan ekonomi triliunan dolar masih merasa perlu menjaga emas sebagai pelindung nilai, pertanyaan reflektifnya sederhana: Bagaimana dengan kita sebagai individu? Emas mungkin bukan aset dengan return terbesar, tetapi seperti yang dipahami bank sentral selama berabad-abad: Ia adalah penjaga nilai ketika yang lain runtuh. NUNOMICS.id — Solusi Modern di Tengah Strategi Kuno Bank Sentral Jika bank sentral dunia menaruh kepercayaan pada emas sebagai pelindung nilai, NUNOMICS.id hadir sebagai cara praktis dan modern agar individu bisa melakukan hal serupa — tanpa harus menyimpan emas fisik di brankas sendiri. Apa Itu NUNOMICS.id? Fitur Utama NUNOMICS.id Kenapa NUNOMICS.id Relevan dalam Konteks Strategi Bank Sentral Bukan hanya investasi—tetapi perisai kekayaan. Referensi Aizenman, J., & Inoue, K. (2013). Central Banks and Gold Puzzles. NBER Working Paper No. 17894.Data meliputi periode 1979–2010 dengan mencakup 22 negara maju dan beberapa emerging markets besar seperti China, India, dan Rusia. https://www.ecb.europa.eu/press/other-publications/ire/focus/html/ecb.irebox202506_01~f93400a4aa.en.html

Sharia Gold Standard

Sharia Gold Standard: 70% Akan Bertambah Perdebatan Lagi?

Wacana Kembalinya Sistem Keuangan Berbasis Emas Syar’i Pernahkah Anda membayangkan sebuah dunia di mana uang memiliki nilai intrinsik yang stabil, tidak tergerus inflasi, dan mampu memberikan keadilan ekonomi bagi semua pihak? Bagi banyak pemikir ekonomi Islam kontemporer, jawaban atas pertanyaan ini terletak pada sebuah konsep yang telah terbukti bertahan selama lebih dari 13 abad: sistem dinar emas dan dirham perak, atau yang kini dikenal sebagai Sharia Gold Standard. Di tengah ketidakstabilan sistem keuangan global yang terus berulang—krisis demi krisis yang melanda dunia dengan interval yang semakin pendek—pertanyaan mengenai kemungkinan kembalinya sistem moneter berbasis emas syar’i bukan lagi sekadar nostalgia historis. Ia menjadi diskursus serius yang layak dikaji secara mendalam, baik dari perspektif ekonomi, syariah, maupun realitas implementasi di era modern. Jejak Emas dalam Sejarah Islam Untuk memahami esensi Sharia Gold Standard, kita perlu menengok ke belakang, ke masa kejayaan peradaban Islam. Sistem moneter berbasis emas dan perak bukanlah inovasi Islam, namun Islam memberikan legitimasi syar’i dan standarisasi yang jelas terhadap penggunaannya. Pada masa Rasulullah SAW, mata uang yang beredar adalah dinar emas Bizantium dan dirham perak Persia. Kedua mata uang ini kemudian diadopsi dan digunakan dalam berbagai ketentuan syariah, mulai dari perhitungan zakat, mahar, diyat (denda), hingga nisab kepemilikan harta. Rasulullah SAW sendiri bersabda: “Sistem timbangan dan takaran adalah sistem yang digunakan oleh penduduk Madinah.” Pernyataan ini menunjukkan pengakuan terhadap standar yang telah ada. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menetapkan hubungan berat standar antara dinar dan dirham: 7 dinar harus setara (dalam berat) dengan 10 dirham. Standar ini kemudian diabadikan secara formal ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar dan dirham Islam pertama pada sekitar tahun 696 Masehi. Dinar Islam memiliki berat 4,25 gram emas murni (24 karat), sementara dirham memiliki berat 2,975 gram perak murni. Yang menarik, standar berat ini bukanlah angka sembarangan. Ia didasarkan pada butir jelai (habbah) sebagai satuan terkecil. Satu mithqal (dinar) setara dengan 72 butir jelai, sementara dirham setara dengan 50,4 butir jelai. Sistem metrik yang natural ini menunjukkan bagaimana Islam membangun fondasi ekonomi yang terukur dan dapat diverifikasi oleh siapa saja. Sistem dinar-dirham ini kemudian menjadi tulang punggung perdagangan internasional selama berabad-abad. Dari Andalusia di Barat hingga Asia Tenggara di Timur, dinar menjadi mata uang yang dihormati dan diterima secara universal. Stabilitas nilainya yang luar biasa tercermin dalam sebuah fakta mencengangkan: dengan 1 dinar pada masa Rasulullah SAW, seseorang dapat membeli seekor kambing. Pada tahun 2000-an, dengan nilai emas setara 1 dinar (sekitar 4,25 gram emas), seseorang masih dapat membeli seekor kambing. Inilah yang disebut sebagai stabilitas nilai riil lintas generasi. Runtuhnya Standar Emas Global Untuk memahami urgensi diskusi mengenai Sharia Gold Standard, kita perlu memahami bagaimana sistem moneter dunia berevolusi—atau dalam pandangan banyak ekonom Islam, berdeviasi—dari prinsip nilai intrinsik. Sistem bimetalik (emas dan perak) mendominasi perdagangan dunia hingga abad ke-20. Namun, Perang Dunia I mengubah segalanya. Negara-negara Eropa menangguhkan konvertibilitas mata uang mereka ke emas untuk membiayai perang. Setelah perang, muncul upaya kembali ke standar emas, namun tidak berlangsung lama. Titik balik terbesar terjadi pada 1944 dengan Bretton Woods Agreement. Sistem ini menetapkan bahwa semua mata uang akan dikaitkan dengan dolar AS, sementara dolar AS sendiri dapat ditukar dengan emas pada nilai tetap: $35 per troy ounce. Namun, sistem ini pun runtuh pada 15 Agustus 1971 ketika Presiden Richard Nixon secara sepihak mengumumkan penghentian konversi dolar ke emas—peristiwa yang dikenal sebagai “Nixon Shock”. Sejak 1971, dunia memasuki era fiat money secara penuh, di mana mata uang tidak lagi memiliki backing apapun kecuali kepercayaan pada otoritas penerbitnya. Uang kertas kini hanya selembar kertas yang nilainya ditentukan oleh kebijakan pemerintah dan bank sentral, bukan oleh nilai intrinsik logam mulia. Konsekuensinya? Dalam 50 tahun penggunaan fiat money (1971-2021), dunia mengalami setidaknya 8 kali krisis ekonomi besar. Bandingkan dengan 13 abad penggunaan standar emas dalam sejarah Islam, yang hanya tercatat mengalami satu krisis besar pada masa Dinasti Mamluk. Statistik ini menjadi argumen kuat bagi pendukung kembalinya sistem moneter berbasis emas. Anatomi Krisis: Mengapa Fiat Money Problematik? Untuk memahami mengapa banyak ekonom Islam mengkritik sistem fiat money, kita perlu membedah tiga pilar fundamental yang menjadi sumber masalahnya. Pertama: Riba dan Sistem Bunga Dalam sistem perbankan konvensional, uang diciptakan melalui mekanisme fractional reserve banking. Bank hanya perlu menyimpan sebagian kecil dari deposit (misalnya 10%) dan dapat meminjamkan sisanya dengan bunga. Sistem ini memiliki kelemahan mendasar: total uang yang harus dikembalikan (pokok + bunga) akan selalu lebih besar dari total uang yang beredar. Dalam terminologi matematika ekonomi, jika R adalah total kebutuhan uang (untuk membayar hutang + bunga) dan G adalah total jumlah uang beredar, maka dalam sistem bunga selalu berlaku R > G. Ini menciptakan situasi zero-sum game di mana seseorang harus gagal bayar agar yang lain bisa membayar hutangnya. Inilah yang disebut sebagai “default by design”—sistem yang secara inheren mendorong kegagalan bisnis. Syariah Islam melarang riba karena memahami dengan sangat baik konsekuensi destruktif dari sistem ini. Bunga menciptakan pengalihan kekayaan yang tidak adil dari sektor riil ke sektor finansial, dari peminjam ke pemberi pinjaman, tanpa adanya risk-sharing yang proporsional. Kedua: Pemisahan Sektor Moneter dari Sektor Riil Salah satu penyebab utama krisis keuangan berulang adalah pemisahan sektor moneter dari sektor riil. Dalam ekonomi konvensional modern, sebagian besar aktivitas keuangan terjadi di pasar derivatif, future trading, dan berbagai instrumen finansial yang tidak terkait dengan aset riil. Beberapa literatur menyebutkan bahwa jarak antara sektor riil dan sektor moneter mencapai 9 kali lipat—artinya, untuk setiap $1 aktivitas ekonomi riil (produksi barang dan jasa), terdapat $9 aktivitas di sektor finansial. Kondisi ini menciptakan bubble ekonomi yang mudah meledak. Ketika ekspektasi di pasar finansial tidak sesuai dengan kondisi ekonomi riil, terjadilah krisis seperti subprime mortgage 2008. Islam memiliki prinsip fundamental: “sektor moneter dan sektor riil harus terkait”. Dalam transaksi jual beli, uang dan barang (ma’qud ‘alaih) harus tersedia karena keduanya merupakan rukun yang wajib ada. Ini mengapa future trading dan margin trading yang tidak diikuti pengiriman barang dianggap tidak sah dalam fiqh muamalah. Ketiga: Inflasi dan Erosi Nilai Fiat money memiliki kelemahan struktural: nilainya terus tergerus oleh inflasi. Data menunjukkan bahwa dalam 40 tahun terakhir, rupiah mengalami penurunan daya beli sebesar 8%

Harga Emas Fisik JFXGOLD X Naik Jadi Rp. 2,3 juta/gram Usai Trump Teken RUU Akhiri US Shutdown

Jakarta, MetalNews Digital – Harga emas lanjutkan penguatannya sampai dengan perdagangan hari ini. Setelah bertahan lama dengan koreksi harganya, harga emas berhasil kembali ke level US$ 4.000 per troy ounce pada 10 November 2025 . Harga emas berjalan menguat seiring dengan para pelaku pasar yang saat ini sedang menanti pengumuman tentang keputusan suara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) untuk mengakhiri penutupan pemerintah federal atau US Shutdown. Pengumuman ini dinanti karena dengan diakhirinya US Shutdown maka pemerintahan kembali dibuka dan aliran data ekonomi kembali dibuka. Presiden Donald Trump telah menandatangani undang-undang yang mengakhiri penutupan pemerintahan AS terlama dalam sejarah AS. Penandatanganan ini dilakukan setelah beberapa jam setelah DPR menyetujui untuk melanjutkan bantuan pangan yang terganggu, membayar ratusan ribu pegawai federal dan menghidupkan kembali sistem pengadilan lalu lintas udara yang terganggu. Tanda tangan Trump pada rancangan undang-undang tersebut yang telah disetujui senat pada awal pekan ini, akan membawa pegawai federal yang terpaksa berhenti bekerja akibat penutupan pemerintahan selama 43 hari kembali ke pekerjaan mereka mulai kamis ini. Meskipun seberapa cepat layanan dan operasi pemerintah sepenuhnya akan pulih namun masih belum jelas. “Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi,” kata Trump di Ruang Oval selama upacara penandatanganan larut malam yang dia gunakan untuk mengkritik Demokrat. “Ini bukan cara yang tepat untuk mengelola negara.” tambah Donald Trump, Presiden AS dikutip dari Reuters.com. Penutupan pemerintahan AS selama 43 hari ini menjadi yang terpanjang dalam sejarah AS. Tentunya penutupan pemerintahan AS ini membebani perekonomian dan menghambat data pemerintah, mendorong para pembuat kebijakan dan pasar untuk mengandalkan indikator swasta untuk mengukur kondisi perekonomian. Namun usai ditandatanganinya undang-undang yang mengakhiri penutupan pemerintahan AS seperti memberikan angin segar untuk market. Mengapa tidak, hal ini membuka kembali aliran data ekonomi dan memberikan jalan bagi Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas suku bunga pada bulan Desember. Dimana hal ini membuka peluang untuk penguatan harga emas akan terjadi pada penutupan tahun 2025. Mengingat emas yang tidak memberikan imbal hasil cenderung berkinerja baik dalam lingkungan suku bunga rendah. Harga Emas Fisik JFXGOLD X 13 November 2025 : Berakhirnya penutupan pemerintahan AS membawa harga emas fisik JFXGOLD X yang transaksinya menggunakan harga pasar dunia berhasil menguat sebanyak 5,42%. Penguatan ini juga berhasil membawa harganya kembali ke level US$ 4000 per troy ounce, lebih tepatnya pada perdagangan Kamis ini (13/11/2025) harganya berada di angka US$ 4.211.51 per troy ounce atau Rp. 2.301.973 per gram. Pemantauan harga dan transaksi emas fisik di Bursa Komoditi JFX melalui platform JFXGOLD X dapat diaskes pada aplikasi NUNOMICS. Simak informasi lainnya hanya di MetalNews.

Dunia berhenti mengguanakan dollar. BRICS, De-dollarisasi, dan Emas

Perubahan Tatanan Moneter Global pada 10 tahun mendatang: Antara De-Dollarisasi, BRICS, dan Pelarian ke Emas Bertambah Kuat

Selama hampir satu abad, dolar Amerika Serikat telah menjadi raja tanpa tanding dalam panggung ekonomi global. Mata uang ini menguasai hampir 90 persen transaksi valuta asing dan 48 persen pembayaran melalui sistem SWIFT. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fondasi dominasi dolar mulai berguncang. Pertanyaannya bukan lagi apakah dunia akan berhenti mengandalkan dolar, melainkan seberapa cepat pergeseran ini akan terjadi—dan apa yang akan menggantikannya. Momentum De-Dollarisasi: Dari Retorika ke Realitas Istilah “de-dollarisasi” merujuk pada pengurangan signifikan penggunaan dolar AS dalam perdagangan global dan transaksi keuangan. Tren ini bukan sekadar wacana politik, tetapi sudah menjadi strategi konkret yang diterapkan oleh berbagai negara, terutama yang tergabung dalam blok BRICS—Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Perubahan geopolitik global mempercepat proses ini. Pencabutan akses Rusia dari sistem SWIFT setelah invasi ke Ukraina, ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, serta kebijakan moneter Federal Reserve yang berdampak pada pasar global, semuanya mendorong negara-negara mencari alternatif dari sistem keuangan yang didominasi Barat. Negara-negara BRICS kini berusaha meningkatkan kemandirian finansial dan mengurangi kerentanan terhadap sanksi ekonomi AS. Langkah nyata sudah terlihat. Tiongkok dan Rusia kini melakukan sebagian besar perdagangan bilateral mereka menggunakan yuan dan rubel, sepenuhnya melewati dolar. Brasil dan Tiongkok menandatangani kesepakatan penyelesaian perdagangan yuan-real pada tahun 2023. India mulai membeli minyak Rusia menggunakan rupee. Bahkan lebih dari 95 persen perdagangan antara Rusia dan Iran pada tahun 2024 diselesaikan dalam rubel dan rial. Data menunjukkan bahwa pada Maret 2024, lebih dari setengah pembayaran Tiongkok (52,9 persen) diselesaikan dalam RMB, sementara pembayaran dalam dolar AS turun menjadi 42,8 persen. BRICS: Kekuatan Ekonomi yang Tidak Dapat Diabaikan Untuk memahami potensi de-dollarisasi, kita perlu memahami dahsyatnya kekuatan ekonomi BRICS. Pada tahun 2023, ekonomi BRICS secara kolektif menyumbang lebih dari 25 persen output ekonomi global dengan 42 persen populasi dunia. Antara tahun 1990 dan 2015, pangsa ekonomi BRICS dalam output global melonjak dari 5,85 persen menjadi 21,6 persen—transformasi yang luar biasa dalam waktu yang relatif singkat. Secara kolektif, BRICS mengendalikan sekitar 4 triliun dolar AS dalam cadangan devisa konsolidasi dan menarik sekitar 11 persen investasi asing langsung global. Proyeksi menunjukkan bahwa ekonomi BRICS berpotensi melampaui ekonomi G7 pada tahun 2050, menandakan pergeseran fundamental dalam pusat gravitasi ekonomi global dari Barat ke Timur dan Selatan. Ekspansi BRICS menambah momentum pada narasi de-dollarisasi. Pada Januari 2024, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab resmi bergabung, menjadikan blok ini BRICS-10. Indonesia menyusul sebagai anggota penuh pada Januari 2025. Perluasan ini bukan sekadar simbolis—ini merepresentasikan pergeseran serius dalam keseimbangan kekuatan ekonomi global. Institusi BRICS: Fondasi Integrasi Ekonomi Telah dibangun infrastruktur institusional yang solid untuk mendukung ambisi ekonominya. New Development Bank (NDB), yang didirikan pada tahun 2015, kini memiliki kapasitas pembiayaan sebesar 32,8 miliar dolar AS dan menyediakan bantuan keuangan untuk proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan, tidak hanya di negara-negara BRICS tetapi juga di ekonomi berkembang lainnya. Salah satu fitur distinktif NDB adalah pendekatannya dalam membiayai proyek menggunakan mata uang lokal. Pada tahun 2016, NDB mencairkan pinjaman perdananya senilai 811 juta dolar AS, dengan Brasil menerima 300 juta, Tiongkok 81 juta, India 250 juta, dan Afrika Selatan 180 juta dolar AS. Pendekatan pembiayaan dalam mata uang lokal ini tidak hanya mengurangi risiko nilai tukar tetapi juga memperkuat penggunaan mata uang BRICS—real Brasil, rubel Rusia, rupee India, renminbi Tiongkok, dan rand Afrika Selatan—dalam transaksi internasional, secara halus meletakkan dasar untuk kerja sama mata uang yang lebih besar di antara negara-negara anggota. Selain NDB, BRICS juga mendirikan Contingent Reserve Arrangement (CRA) dengan dana 100 miliar dolar AS, yang menyediakan mekanisme dukungan bersama untuk tekanan neraca pembayaran jangka pendek. Institusi-institusi ini menunjukkan komitmen serius BRICS terhadap stabilitas keuangan dan integrasi ekonomi yang lebih dalam. Realitas Mata Uang Bersama BRICS: Antara Ambisi dan Hambatan Di atas kertas, BRICS memiliki potensi besar untuk mengubah lanskap keuangan global melalui mata uang bersama. Pada KTT BRICS di Kazan, Oktober 2024, para anggota membahas pengembangan BRICS Pay, sistem pembayaran terdesentralisasi berbasis blockchain yang dirancang untuk menghubungkan sistem keuangan negara-negara anggota menggunakan mata uang digital bank sentral (CBDC). Namun, implementasi nyata jauh lebih kompleks daripada retorika. Pada KTT BRICS di Rio de Janeiro pada Juli 2025, tidak ada kemajuan konkret menuju de-dollarisasi yang serius. Deklarasi akhir tidak menyebut penciptaan mata uang bersama atau strategi terkoordinasi untuk mengurangi penggunaan dolar. Yang sebenarnya terjadi jauh lebih sederhana: penyelesaian sebagian perdagangan dalam mata uang lokal untuk mengurangi biaya dan mengurangi ketergantungan pada dolar untuk transaksi tertentu. Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva sempat menjadi pendukung vokal mata uang bersama BRICS pada KTT 2023 dan 2024. Namun, setelah ancaman tarif 100-150 persen dari Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara BRICS yang mengejar de-dollarisasi, Lula secara resmi menghapus gagasan mata uang bersama dari agenda kepresidenan BRICS Brasil 2025. Bahkan Vladimir Putin, yang sebelumnya tampak mendukung prospek ini, telah meninggalkannya. Pernyataan India juga memperjelas posisinya. Menteri Luar Negeri S. Jaishankar menjelaskan, “De-dollarisasi bukan bagian dari agenda keuangan India.” India lebih memilih strategi “derisking” perdagangan melalui diversifikasi mitra dan sistem pembayaran alternatif, bukan kemerdekaan dari dolar per se. Teori Optimum Currency Area: Mengapa Mata Uang Bersama BRICS Sulit Terwujud Untuk memahami mengapa mata uang bersama BRICS menghadapi hambatan besar, kita perlu memahami teori Optimum Currency Area (OCA). Teori yang dipopulerkan oleh Robert Mundell pada tahun 1960-an ini menetapkan kriteria spesifik yang harus dipenuhi agar kelompok negara dapat mengadopsi mata uang bersama dengan sukses. Kriteria OCA meliputi: kesamaan struktur ekonomi, tingkat keterbukaan perdagangan yang tinggi, mobilitas faktor produksi, homogenitas preferensi kebijakan, dan mekanisme transfer fiskal. Ketika diterapkan pada BRICS, analisis menunjukkan kesenjangan signifikan dalam memenuhi kriteria-kriteria ini. Keragaman ekonomi BRICS sangat ekstrem—dari ekonomi berbasis komoditas seperti Rusia dan Afrika Selatan hingga ekonomi manufaktur dan jasa seperti Tiongkok dan India. Keragaman ini meluas ke indikator ekonomi seperti tingkat inflasi, pertumbuhan PDB, dan kebijakan fiskal, yang tidak tersinkronisasi di seluruh blok. Disparitas dalam tingkat perkembangan ekonomi, tingkat inflasi, dan disiplin fiskal di antara negara-negara BRICS menimbulkan hambatan signifikan terhadap realisasi mata uang bersama dalam waktu dekat. Studi empiris memperkuat temuan ini. Penelitian tahun 2019 yang meneliti Shanghai Cooperation Organization (yang mencakup beberapa anggota BRICS) menemukan respons asimetris bank sentral terhadap guncangan internal dan

Scroll to Top