Sharia Gold Standard: 70% Akan Bertambah Perdebatan Lagi?
Wacana Kembalinya Sistem Keuangan Berbasis Emas Syar’i Pernahkah Anda membayangkan sebuah dunia di mana uang memiliki nilai intrinsik yang stabil, tidak tergerus inflasi, dan mampu memberikan keadilan ekonomi bagi semua pihak? Bagi banyak pemikir ekonomi Islam kontemporer, jawaban atas pertanyaan ini terletak pada sebuah konsep yang telah terbukti bertahan selama lebih dari 13 abad: sistem dinar emas dan dirham perak, atau yang kini dikenal sebagai Sharia Gold Standard. Di tengah ketidakstabilan sistem keuangan global yang terus berulang—krisis demi krisis yang melanda dunia dengan interval yang semakin pendek—pertanyaan mengenai kemungkinan kembalinya sistem moneter berbasis emas syar’i bukan lagi sekadar nostalgia historis. Ia menjadi diskursus serius yang layak dikaji secara mendalam, baik dari perspektif ekonomi, syariah, maupun realitas implementasi di era modern. Jejak Emas dalam Sejarah Islam Untuk memahami esensi Sharia Gold Standard, kita perlu menengok ke belakang, ke masa kejayaan peradaban Islam. Sistem moneter berbasis emas dan perak bukanlah inovasi Islam, namun Islam memberikan legitimasi syar’i dan standarisasi yang jelas terhadap penggunaannya. Pada masa Rasulullah SAW, mata uang yang beredar adalah dinar emas Bizantium dan dirham perak Persia. Kedua mata uang ini kemudian diadopsi dan digunakan dalam berbagai ketentuan syariah, mulai dari perhitungan zakat, mahar, diyat (denda), hingga nisab kepemilikan harta. Rasulullah SAW sendiri bersabda: “Sistem timbangan dan takaran adalah sistem yang digunakan oleh penduduk Madinah.” Pernyataan ini menunjukkan pengakuan terhadap standar yang telah ada. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menetapkan hubungan berat standar antara dinar dan dirham: 7 dinar harus setara (dalam berat) dengan 10 dirham. Standar ini kemudian diabadikan secara formal ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar dan dirham Islam pertama pada sekitar tahun 696 Masehi. Dinar Islam memiliki berat 4,25 gram emas murni (24 karat), sementara dirham memiliki berat 2,975 gram perak murni. Yang menarik, standar berat ini bukanlah angka sembarangan. Ia didasarkan pada butir jelai (habbah) sebagai satuan terkecil. Satu mithqal (dinar) setara dengan 72 butir jelai, sementara dirham setara dengan 50,4 butir jelai. Sistem metrik yang natural ini menunjukkan bagaimana Islam membangun fondasi ekonomi yang terukur dan dapat diverifikasi oleh siapa saja. Sistem dinar-dirham ini kemudian menjadi tulang punggung perdagangan internasional selama berabad-abad. Dari Andalusia di Barat hingga Asia Tenggara di Timur, dinar menjadi mata uang yang dihormati dan diterima secara universal. Stabilitas nilainya yang luar biasa tercermin dalam sebuah fakta mencengangkan: dengan 1 dinar pada masa Rasulullah SAW, seseorang dapat membeli seekor kambing. Pada tahun 2000-an, dengan nilai emas setara 1 dinar (sekitar 4,25 gram emas), seseorang masih dapat membeli seekor kambing. Inilah yang disebut sebagai stabilitas nilai riil lintas generasi. Runtuhnya Standar Emas Global Untuk memahami urgensi diskusi mengenai Sharia Gold Standard, kita perlu memahami bagaimana sistem moneter dunia berevolusi—atau dalam pandangan banyak ekonom Islam, berdeviasi—dari prinsip nilai intrinsik. Sistem bimetalik (emas dan perak) mendominasi perdagangan dunia hingga abad ke-20. Namun, Perang Dunia I mengubah segalanya. Negara-negara Eropa menangguhkan konvertibilitas mata uang mereka ke emas untuk membiayai perang. Setelah perang, muncul upaya kembali ke standar emas, namun tidak berlangsung lama. Titik balik terbesar terjadi pada 1944 dengan Bretton Woods Agreement. Sistem ini menetapkan bahwa semua mata uang akan dikaitkan dengan dolar AS, sementara dolar AS sendiri dapat ditukar dengan emas pada nilai tetap: $35 per troy ounce. Namun, sistem ini pun runtuh pada 15 Agustus 1971 ketika Presiden Richard Nixon secara sepihak mengumumkan penghentian konversi dolar ke emas—peristiwa yang dikenal sebagai “Nixon Shock”. Sejak 1971, dunia memasuki era fiat money secara penuh, di mana mata uang tidak lagi memiliki backing apapun kecuali kepercayaan pada otoritas penerbitnya. Uang kertas kini hanya selembar kertas yang nilainya ditentukan oleh kebijakan pemerintah dan bank sentral, bukan oleh nilai intrinsik logam mulia. Konsekuensinya? Dalam 50 tahun penggunaan fiat money (1971-2021), dunia mengalami setidaknya 8 kali krisis ekonomi besar. Bandingkan dengan 13 abad penggunaan standar emas dalam sejarah Islam, yang hanya tercatat mengalami satu krisis besar pada masa Dinasti Mamluk. Statistik ini menjadi argumen kuat bagi pendukung kembalinya sistem moneter berbasis emas. Anatomi Krisis: Mengapa Fiat Money Problematik? Untuk memahami mengapa banyak ekonom Islam mengkritik sistem fiat money, kita perlu membedah tiga pilar fundamental yang menjadi sumber masalahnya. Pertama: Riba dan Sistem Bunga Dalam sistem perbankan konvensional, uang diciptakan melalui mekanisme fractional reserve banking. Bank hanya perlu menyimpan sebagian kecil dari deposit (misalnya 10%) dan dapat meminjamkan sisanya dengan bunga. Sistem ini memiliki kelemahan mendasar: total uang yang harus dikembalikan (pokok + bunga) akan selalu lebih besar dari total uang yang beredar. Dalam terminologi matematika ekonomi, jika R adalah total kebutuhan uang (untuk membayar hutang + bunga) dan G adalah total jumlah uang beredar, maka dalam sistem bunga selalu berlaku R > G. Ini menciptakan situasi zero-sum game di mana seseorang harus gagal bayar agar yang lain bisa membayar hutangnya. Inilah yang disebut sebagai “default by design”—sistem yang secara inheren mendorong kegagalan bisnis. Syariah Islam melarang riba karena memahami dengan sangat baik konsekuensi destruktif dari sistem ini. Bunga menciptakan pengalihan kekayaan yang tidak adil dari sektor riil ke sektor finansial, dari peminjam ke pemberi pinjaman, tanpa adanya risk-sharing yang proporsional. Kedua: Pemisahan Sektor Moneter dari Sektor Riil Salah satu penyebab utama krisis keuangan berulang adalah pemisahan sektor moneter dari sektor riil. Dalam ekonomi konvensional modern, sebagian besar aktivitas keuangan terjadi di pasar derivatif, future trading, dan berbagai instrumen finansial yang tidak terkait dengan aset riil. Beberapa literatur menyebutkan bahwa jarak antara sektor riil dan sektor moneter mencapai 9 kali lipat—artinya, untuk setiap $1 aktivitas ekonomi riil (produksi barang dan jasa), terdapat $9 aktivitas di sektor finansial. Kondisi ini menciptakan bubble ekonomi yang mudah meledak. Ketika ekspektasi di pasar finansial tidak sesuai dengan kondisi ekonomi riil, terjadilah krisis seperti subprime mortgage 2008. Islam memiliki prinsip fundamental: “sektor moneter dan sektor riil harus terkait”. Dalam transaksi jual beli, uang dan barang (ma’qud ‘alaih) harus tersedia karena keduanya merupakan rukun yang wajib ada. Ini mengapa future trading dan margin trading yang tidak diikuti pengiriman barang dianggap tidak sah dalam fiqh muamalah. Ketiga: Inflasi dan Erosi Nilai Fiat money memiliki kelemahan struktural: nilainya terus tergerus oleh inflasi. Data menunjukkan bahwa dalam 40 tahun terakhir, rupiah mengalami penurunan daya beli sebesar 8%









