Berita Nunomics

Komoditas Emas dalam Syariah: Sejak 25 Tahun Lalu Emas Bukan Sekedar Komoditas, Tapi Alat Nilai

Di tengah maraknya tren investasi emas yang dipromosikan sebagai komoditas kekinian, ada satu hal mendasar yang sering terlupakan: dalam perspektif syariah, emas sejatinya bukan sekadar produk investasi atau komoditas perdagangan. Emas adalah alat ukur nilai, standar yang telah ditetapkan sejak masa Rasulullah saw. hingga kini. Banyak orang melihat emas hanya dari kacamata pasar—naik turun harga, spekulasi, profit jangka pendek. Padahal, fungsi utama emas dalam fikih jauh lebih fundamental daripada sekadar aset yang diperjualbelikan. Emas adalah miqyas, tolok ukur nilai yang stabil dalam sistem ekonomi Islam. Emas sebagai Standar Nilai dalam Fikih Dalam literatur fikih klasik, emas dan perak disebut sebagai tsaman haqiqi atau harga sejati. Keduanya bukan sekadar benda berharga, tetapi standar nilai yang digunakan untuk mengukur harga barang dan jasa lainnya. Ini berbeda dengan uang kertas atau mata uang lain yang nilai intrinsiknya bisa berubah sesuai kebijakan moneter atau kondisi ekonomi. Para ulama sepakat bahwa emas memiliki posisi khusus dalam muamalah. Ia digunakan sebagai patokan dalam nisab zakat, mahar pernikahan, diyat, hingga standar hukum berbagai transaksi. Mengapa? Karena nilainya relatif stabil dan diakui secara universal sejak zaman Nabi Muhammad saw. Bahkan dalam sejarah, mata uang pada sebagian besar abad ke-19 hingga Perang Dunia I didukung oleh emas, sebagaimana terlihat dalam standar emas global yang menjadi indikator nilai yang dapat diandalkan. Ketika kita melihat emas sebagai standar nilai, bukan sebagai komoditas spekulatif, maka seluruh transaksi yang melibatkan emas menjadi lebih jelas dan adil. Tidak ada lagi permainan harga yang membingungkan, tidak ada manipulasi pasar, tidak ada unsur gharar atau ketidakpastian yang merugikan salah satu pihak. Transaksi Emas: Jernih dari Gharar Salah satu hikmah terbesar dari memahami emas sebagai alat nilai adalah kemurnian transaksi. Dalam fikih, jual beli emas memiliki ketentuan yang sangat ketat: harus yadan bi yadin (tunai), harus mitslan bi mitslin (sejenis dan setara) jika menukar emas dengan emas, dan harus dilakukan di tempat (majlis akad). Kenapa begitu ketat? Karena syariah ingin menjaga agar transaksi emas tidak menjadi ajang spekulasi atau riba. Emas bukan untuk dipermainkan dengan skema utang-piutang berjangka atau leverage. Emas adalah alat tukar yang harus dijaga kesuciannya dari unsur-unsur yang merusak keadilan ekonomi. Berdasarkan hadis ‘Ubadah bin al-Samit RA, Rasulullah saw bersabda: “(Ditukar) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama (jumlahnya) untuk yang sama, setara (kuantitasnya) untuk setara, tangan (dikirim) untuk tangan. Jika jenis-jenis ini berbeda, juallah sesuka Anda dan jangan menunda penyerahannya.” (Bulugh al-Maram, Kitab 7, Hadis 833). Ini menegaskan bahwa transaksi emas harus bebas dari riba al-nasiah (riba karena penundaan) dan harus dilakukan secara tunai. Di sinilah kita melihat bagaimana syariah memberi fondasi yang kokoh. Bukan sekadar aturan ritual, tapi sistem yang melindungi hak semua pihak dalam bertransaksi. Ketika emas diperlakukan sesuai prinsip syariah, maka tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang dieksploitasi. Bahkan dalam konteks digital sekarang, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Malaysia telah membolehkan penyerahan emas melalui akun digital sebagai bentuk penyerahan yang sah, asalkan transfer kepemilikan terjadi tanpa penundaan. Bukan Tren Hijrah, Tapi Fondasi Sejak Awal Belakangan ini, banyak yang menyebut kembali ke sistem berbasis emas sebagai bagian dari “hijrah finansial”. Seolah-olah ini adalah hal baru, sebuah gerakan modern untuk meninggalkan sistem konvensional. Padahal, ini bukan tren. Ini fondasi. Sejak awal Islam turun, emas sudah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi umat. Dinar dan dirham—koin emas dan perak—adalah mata uang resmi yang digunakan dalam berbagai transaksi pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Sistem ini bertahan ratusan tahun karena memang dibangun di atas prinsip keadilan dan stabilitas. Jadi, ketika kita bicara tentang kembali ke standar emas, kita bukan sedang mengikuti tren. Kita sedang kembali kepada prinsip yang sudah teruji selama empat belas abad. Prinsip yang tidak bergantung pada gejolak politik, inflasi mata uang fiat, atau kebijakan bank sentral yang sewaktu-waktu bisa berubah. Tantangan Investasi Emas Digital: Pelajaran dari Kasus Quantum Metal Seiring perkembangan teknologi, investasi emas kini telah berevolusi ke dalam bentuk digital. Platform seperti Quantum Metal Sdn. Bhd. (QMSB) menawarkan kemudahan investasi emas secara online. Namun, kemudahan ini harus disertai kehati-hatian ekstra. Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa platform investasi emas digital menghadapi masalah serius terkait kepatuhan syariah dan hukum. Salah satu isu krusial adalah penundaan pembayaran kepada investor yang melanggar prinsip taqabudh (pemilikan segera). Penundaan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan riba al-nasiah, tetapi juga merusak kepercayaan investor. Lebih mengkhawatirkan lagi, ada platform yang tidak terdaftar di Bank Negara Malaysia (BNM) atau Suruhanjaya Sekuriti (SC), yang merupakan syarat wajib untuk beroperasi dalam bisnis perdagangan emas di Malaysia. Ketiadaan registrasi ini bukan hanya melanggar regulasi, tetapi juga mempertanyakan legitimasi operasional dari perspektif syariah. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 59 yang memerintahkan ketaatan kepada ulil amri (pemerintah yang sah), maka mengabaikan regulasi pemerintah termasuk pelanggaran syariah. Kasus seperti ini mengingatkan kita pada skandal Genneva Malaysia Sdn Bhd yang merugikan sekitar 35,000 investor dengan kerugian mencapai RM450 juta. Genneva yang mengklaim sebagai perusahaan patuh syariah ternyata melanggar Akta Institusi Perbankan dan Kewangan 1989 (BAFIA) serta terlibat dalam pencucian uang. Dari sini kita belajar: tidak semua yang mengklaim “syariah-compliant” benar-benar memenuhi standar syariah. Transparansi, kejelasan kontrak, penyerahan fisik yang jelas, dan registrasi resmi adalah hal-hal non-negotiable dalam investasi emas syariah yang sesungguhnya. Kesadaran Generasi Muda: Antara Peluang dan Tantangan Riset terbaru di Terengganu, Malaysia menunjukkan fakta menarik: generasi muda Muslim memiliki tingkat kesadaran yang moderat terhadap investasi emas syariah. Dari 120 responden berusia 18-28 tahun, mayoritas adalah mahasiswa dengan pendapatan di bawah RM500 per bulan. Temuan ini mengungkapkan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, 91% responden menyadari perbedaan antara investasi emas syariah dan konvensional. Di sisi lain, hanya 45% yang aktif membaca isu-isu terkini tentang investasi emas syariah. Yang lebih mengkhawatirkan, 26% responden masih tidak yakin atau tidak mengetahui bahwa investasi emas konvensional yang melanggar syariah adalah haram. Gap pengetahuan ini berbahaya. Ketika seseorang tahu bahwa emas itu baik sebagai investasi alternatif (89% setuju), tapi tidak memahami detail syaratnya, mereka rentan terjebak dalam skema investasi yang tidak sesuai syariah. Inilah yang terjadi pada ribuan korban Genneva—mereka tertarik pada label “syariah” tanpa memahami substansinya. Generasi muda juga menghadapi kendala finansial. Dengan

Geopolitik menyebakan orang kembali melirik emas

Ketika Dunia Gelisah Karena Tragedi Geopolitik, 55% Orang Berpotensi Kembali ke Emas

Ada pola yang selalu berulang sepanjang sejarah manusia: ketika dunia berguncang karena geopolitik yang terjadi, orang mencari sesuatu yang nyata untuk dipegang. Bukan janji-janji di atas kertas. Bukan angka digital di layar komputer. Melainkan sesuatu yang sudah teruji ribuan tahun—emas. Tahun 2025 membuktikan kembali pola ini. Harga emas menembus rekor demi rekor, melonjak lebih dari 50% sejak awal tahun, bahkan mencapai puncak di atas $4.300 per ons. Ini bukan sekadar tren pasar biasa. Ini adalah sinyal ketakutan global yang terterjemahkan dalam logam mulia. Perang, Geopolitik, dan Kehilangan Kepercayaan Mengapa emas? Karena ketika dunia tidak menentu, kepercayaan pada uang kertas mulai goyah. Konflik Rusia-Ukraina terus berlangsung, ketegangan di Timur Tengah meningkat, dan persaingan antara Amerika Serikat dengan China semakin tajam. Semua ini menciptakan apa yang disebut ekonom sebagai “lingkungan kaya katalis” untuk emas. Yang membuat situasi 2025 berbeda dari masa lalu adalah intensitas pembelian oleh bank sentral. Bank sentral global telah membeli lebih dari 1.000 ton emas setiap tahun sejak 2022, laju tercepat dalam sejarah modern. China, India, Turki, Kazakhstan—negara-negara ini bukan sekadar diversifikasi portofolio. Mereka sedang membangun benteng pertahanan ekonomi. Pembekuan cadangan mata uang Rusia oleh Barat setelah invasi Ukraina pada 2022 menjadi momen pencerahan bagi banyak negara. Mereka menyadari: jika cadangan devisa Anda bisa dibekukan dengan satu ketukan tombol, apakah itu benar-benar milik Anda? Emas tidak bisa dibekukan. Tidak bisa dihapus dari sistem. Emas adalah nyata, fisik, dan berada di bawah kontrol penuh pemiliknya. Flight to Safety: Pelarian ke Zona Aman Istilah “flight to safety” dalam bahasa ekonomi berarti perpindahan modal dari aset berisiko tinggi ke aset yang dianggap lebih aman. Ketika ketidakpastian meningkat, investor menjual saham dan obligasi berisiko, lalu membeli emas. Ini bukan spekulasi—ini survival instinct yang terstruktur dalam pasar keuangan. Yang menarik dari tahun 2025, bahkan obligasi pemerintah Amerika Serikat—yang selama lebih dari seabad dianggap sebagai aset teraman di dunia—mengalami penurunan permintaan pada bulan April. Di saat yang sama, emas justru mengalami aliran dana masuk yang luar biasa besar. Artinya? Kepercayaan terhadap sistem moneter konvensional sedang terkikis. Emas mencatat kenaikan tahunan terkuat sejak 1979, tahun ketika dunia juga bergulat dengan inflasi tinggi dan ketegangan geopolitik yang serupa. Sejarah berulang, tapi dengan aktor yang berbeda. Investor Institusi Ikut Masuk Bukan hanya negara. Investor institusi besar—dana pensiun, hedge funds, asuransi—juga meningkatkan alokasi mereka ke emas. Total kepemilikan ETF emas global naik sebesar 397 ton pada semester pertama 2025, level tertinggi sejak Agustus 2022. Ini bukan uang kecil—ini triliunan dolar yang mencari perlindungan. J.P. Morgan memperkirakan harga emas akan mencapai rata-rata $3.675 per ons pada kuartal keempat 2025 dan naik mendekati $4.000 pada pertengahan 2026. Proyeksi ini bukan spekulasi semata, melainkan berdasarkan pola permintaan struktural dari bank sentral dan investor yang terus berlanjut. Yang unik dari siklus kenaikan emas kali ini: bank sentral membeli emas tanpa mempedulikan harga. Mereka tidak trading untuk profit jangka pendek. Mereka membeli untuk menjaga stabilitas jangka panjang. Ini menciptakan “lantai harga” struktural—harga tidak akan jatuh terlalu dalam karena ada pembeli tetap yang tidak pernah berhenti. Dollar Melemah, Emas Menguat Ada hubungan terbalik antara dolar Amerika dan emas. Ketika dolar melemah, emas biasanya menguat. Tahun 2025, dolar mengalami penurunan terburuk sejak 1973. Ini bukan kebetulan. Mayoritas responden survei World Gold Council (73%) melihat kepemilikan dolar di cadangan global akan menurun secara moderat atau signifikan dalam lima tahun ke depan. Ini adalah pergeseran monumental. Selama puluhan tahun, dolar adalah raja mata uang dunia. Kini, tahta itu mulai goyah. Negara-negara yang ingin mengurangi ketergantungan pada dolar—terutama yang berada di luar aliansi geopolitik Barat—memilih emas sebagai alternatif. Antara 2020 dan 2025, alokasi emas di cadangan bank sentral negara-negara ini meningkat dari rata-rata 8% menjadi hampir 15%. Ini bukan sekadar diversifikasi portofolio. Ini adalah upaya “de-dollarisasi”—mengurangi dominasi dolar dalam sistem moneter global. Dan emas adalah instrumen utama dalam proses tersebut. Inflasi yang Tak Kunjung Reda Faktor lain yang mendorong emas adalah inflasi yang persisten. Inflasi di negara-negara maju diperkirakan akan tetap di atas 2% hingga 2026 dan 2027. Ketika uang kertas kehilangan daya belinya, emas mempertahankan nilainya. Emas tidak menghasilkan bunga atau dividen. Tapi itulah kelebihannya—tidak ada janji yang bisa diingkari. Tidak ada risiko default. Tidak ada pemerintah yang bisa mencetak lebih banyak emas untuk menyelesaikan masalah fiskalnya. Pasokan emas hanya tumbuh 1-2% per tahun melalui penambangan, menciptakan kelangkaan alami yang menjaga daya beli dalam jangka panjang. Di Saat Goyah, Apa Peganganmu? Dalam dunia yang semakin tidak stabil—di mana perang bisa pecah tanpa peringatan, sanksi ekonomi bisa dikenakan dalam semalam, dan nilai mata uang bisa jatuh dalam hitungan jam—pertanyaan ini menjadi semakin relevan: apa yang benar-benar bisa Anda pegang? Emas bukan jaminan keuntungan cepat. Harganya bisa berfluktuasi. Tapi selama ribuan tahun, emas telah membuktikan dirinya sebagai penyimpan nilai yang andal di tengah kekacauan. Ketika sistem-sistem yang dibangun manusia runtuh, emas tetap berdiri. World Gold Council memperkirakan bahwa dalam kondisi ekonomi stagflasi atau resesi, emas bisa naik tambahan 10-15% pada paruh kedua 2025. Tapi bahkan tanpa proyeksi optimis itu, satu hal sudah jelas: dalam era ketidakpastian, emas bukan lagi sekadar aset. Emas adalah benteng terakhir. Jadi ketika dunia berguncang—dan sepertinya akan terus begitu—orang kembali ke emas. Bukan karena spekulasi. Bukan karena tren. Tapi karena sejarah telah mengajarkan mereka: ketika semua yang lain gagal, emas tetap bertahan. Nunomics: Solusi Emas Syariah untuk Indonesia Di tengah kegamangan global yang mendorong orang kembali ke emas, muncul pertanyaan praktis: bagaimana masyarakat Indonesia—khususnya muslim—bisa mengakses emas dengan cara yang mudah dan sesuai syariah? Nunomics hadir sebagai jawaban. Platform jaringan ekonomi digital syariah ini dibentuk atas inisiatif generasi pejuang Nahdlatul Ulama untuk meningkatkan kualitas hidup muslim Indonesia. Nunomics memungkinkan pengguna menabung emas fisik secara digital yang tersimpan di vault, terhindar dari gharar dan sesuai syariat Islam. Platform ini berizin resmi BAPPEBTI dan diawasi Kementerian Perdagangan. Yang membedakan Nunomics adalah integrasinya dengan kehidupan beragama muslim: tabungan haji dan umrah, sedekah digital melalui LAZIS terpercaya, hingga pembayaran tagihan dalam satu ekosistem. Dengan modal mulai Rp100.000, siapa pun bisa memulai—membawa akses emas ke tangan masyarakat luas. Di era ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang mendorong flight to safety, Nunomics menjembatani kebutuhan perlindungan aset dengan nilai-nilai keislaman. Ketika bank sentral

Harga Emas Tetap Terjaga?

Kenapa Muslim Perlu Paham Tentang Nilai dan Harga Emas, Bukan Harga? Selama 5 Tahun Harga Emas Naik Turun, Nilai Emas Terjaga

Pernahkah Anda berpikir mengapa banyak orang panic buying emas ketika harga emas naik, tetapi panik menjual ketika harga jatuh? Ini karena kebanyakan kita hanya melihat harga emas, bukan nilai. Padahal, ajaran Islam mengajarkan sesuatu yang lebih mendalam: nilai sebenar aset terletak pada keberkahan dan fungsinya, bukan sekadar angka di layar. Dalam dunia investasi emas yang semakin populer—terutama di kalangan generasi muda Muslim—memahami perbedaan antara harga dan nilai bukan sekadar teori ekonomi; ini adalah prinsip syariah yang fundamental. Emas dalam Perspektif Syariah: Lebih dari Sekadar Komoditas Emas telah lama dianggap sebagai medium pertukaran yang dapat dipercaya dan penyimpan nilai karena sifat dan fungsinya yang berkaitan dengan uang (Wan Jusoh & Harun, 2024). Namun, dalam Islam, emas bukan sekadar aset fisik—ia adalah ribawi item yang mempunyai peraturan khusus. Hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan: “(Bertukar) emas dengan emas, perak dengan perak… sama (jumlah) untuk sama, setara (kuantitas) untuk setara, tangan (diserahkan) untuk tangan. Jika jenis-jenis ini berbeda, jual sebagaimana yang kalian mau dan jangan tunda penyerahan.”(Bulugh al-Maram, Kitab 7, Hadits 833) Ini berarti transaksi emas dalam Islam harus bebas dari: Nilai Emas vs Harga Emas: Apa Bedanya? Harga adalah angka yang berubah setiap hari, dipengaruhi oleh spekulasi pasar, sentimen investor, dan faktor ekonomi global. Ia bisa naik 10% hari ini, turun 15% besok. Nilai, sebaliknya, adalah fungsi intrinsik emas sebagai: Kajian menunjukkan bahwa banyak investor Muslim terjebak dalam skema investasi emas konvensional yang berbasis riba tanpa menyadari bahwa ia bertentangan dengan hukum syarak (Mas’ad et al., 2019). Ini membuktikan bahaya fokus pada harga semata tanpa memahami nilai dan kepatuhan syariah. Mengapa Generasi Muda Perlu Memahami Ini? Kajian terkini menunjukkan sesuatu yang mengejutkan: sebagian besar generasi muda tidak yakin atau tidak menyadari bahwa investasi emas konvensional bisa menjadi haram jika tidak patuh syariah (Wan Jusoh & Harun, 2024). Lebih memprihatinkan, walaupun banyak yang setuju emas adalah aset alternatif yang baik, literasi tentang investasi emas patuh syariah masih rendah di kalangan generasi muda. Mengapa Ini Terjadi? Prinsip Syariah dalam Investasi Emas: Panduan Praktis Menurut Shariah Standard No. 57 yang dikeluarkan AAOIFI bersama World Gold Council pada November 2016, investasi emas patuh syariah harus memenuhi syarat berikut: Jangan Terjebak dengan Spekulasi! Kajian memberi peringatan: banyak investor tergoda dengan janji return tinggi tanpa paham konsep dasar (Ahmad Razimi et al., 2017). Islam melarang maysir, dan spekulasi berlebihan dalam emas dapat dikategorikan sebagai maysir. Tanda-tanda investasi emas bermasalah: Kesalahan Umum yang Harus Dihindari Solusi Nyata: NUNOMICS untuk Muslim Indonesia Di tengah tantangan ekonomi global, muncul pertanyaan penting: bagaimana umat Muslim Indonesia bisa melindungi nilai waktu dan kerja keras mereka secara syariah? Jawabannya hadir melalui NUNOMICS.id —platform jaringan ekonomi digital syariah yang diinisiasi generasi pejuang Nahdlatul Ulama. Tabungan Emas Fisik yang Benar-benar Aman NUNOMICS menyediakan tabungan emas fisik yang: Ini menjawab kekhawatiran tentang “paper gold” yang tidak jelas keberadaannya. Kesimpulan: Harga Naik Turun, Nilai Dijaga Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ekonomi, ajaran Islam menekankan: jangan terperangkap pada harga yang berubah-ubah, tetapi pahami nilai, keberkahan, dan kepatuhan syariah. Emas yang dibeli dengan niat benar, mengikuti prinsip syariah, dan dengan ilmu yang cukup—itulah investasi yang membawa keberkahan, bukan sekadar keuntungan dunia. Seperti ditekankan dalam banyak kajian, investor Muslim perlu membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mendalam tentang fiqh emas, bukan sekadar ikut tren (Juisin et al., 2023). Tingkatkan ilmu, pahami nilai, jaga keberkahan. Daftar Pustaka Ahmad Razimi, M. S., Romle, A. R., & Azizan, K. A. (2017). An understanding of shariah issues on gold investment: A review. Asian Journal of Business Management Studies (AJBMS), 8(1), 9-12. https://www.idosi.org/ajbms/8(1)17/3.pdf Juisin, H. A., Mohd Sayuthi, M. A. S., Amin, H., & Shaikh, I. M. (2023). Determinants of Shariah gold investment behaviour: The case of Penang, Malaysia. Journal of Islamic Marketing, 14(2), 3228-3246. https://doi.org/10.1108/JIMA-11-2021-0360 Mas’ad, M. A., Rozali, M. E. A., Wan Ismail, W. A. F., & Johari, F. (2019). Gold investment practices in Malaysia: A Shariah review. Journal of Fatwa Management and Research, 13(1), 215-231. https://doi.org/10.33102/jfatwa.vol13no1.184 Nawaz, N., & Sudindra, V. R. (2013). A study on various forms of gold investment. SSRN Electronic Journal, 1-18. https://doi.org/10.2139/ssrn.3525301 Sugiastuti, R. H., Friseyla, V., & Pramesti, R. (2024). How financial literacy and investment knowledge influence gold investment decisions. Profit: Jurnal Administrasi Bisnis, 18(2), 257-272. Tabadulat. (n.d.). Is gold a halal investment? Tabadulat Blog. Retrieved from https://blog.tabadulat.com/is-gold-a-halal-investment/ Wan Jusoh, W. N. H., & Harun, A. (2024). Golden horizons: Investigating Shariah-compliant gold investment awareness among youth. International Journal of Social Science Research, 12(2), 356-374. https://doi.org/10.5296/ijssr.v12i2.22063World Gold Council & AAOIFI. (2016). Shariah Standard No. 57: Gold and its trading controls. Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions.

Fiat vs Emas

Fiat vs Emas: 2 Cara Melihat Waktu yang Berharga

Bayangkan sebuah jam pasir. Butiran pasir yang jatuh melambangkan waktu yang berlalu, tak bisa diulang, tak bisa ditawar. Dalam hidup kita, waktu adalah amanah paling berharga. Begitu pula dengan nilai uang yang kita simpan—seharusnya menjaga waktu kerja kita, keringat kita, pengorbanan kita. Tapi kenyataannya? Uang kertas terus menurun, sementara emas tetap berdiri tegak menjaga nilainya. Ketika Uang Kertas Kehilangan Maknanya Tahun 1971 menjadi titik balik besar dalam sejarah ekonomi dunia. Amerika Serikat secara resmi meninggalkan sistem standar emas dan beralih sepenuhnya ke sistem uang fiat—uang yang nilainya tidak lagi dijamin oleh cadangan emas, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan dan keputusan pemerintah. Sejak saat itu, tidak ada satu pun negara di dunia yang masih mengikat mata uangnya dengan emas. Dalam sistem fiat, dolar hanyalah unit akuntansi. Uang kertas tidak lagi dapat ditukar dengan emas atau aset lainnya. Uang beredar karena praktis digunakan untuk transaksi dan ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Tapi inilah masalahnya: tanpa jangkar yang kokoh, nilai uang fiat terus terkikis oleh inflasi. Selama lima tahun terakhir, dolar AS kehilangan 25% daya belinya—yang dulunya senilai satu dolar kini hanya setara dengan 75 sen. Lebih dramatis lagi, Euro telah kehilangan hampir 90% nilainya terhadap emas dalam 25 tahun terakhir. Bayangkan, uang yang Anda simpan di bank perlahan-lahan kehilangan kemampuannya membeli barang yang sama. Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah waktu hidup kita yang dicuri secara diam-diam. Waktu yang kita habiskan bekerja, menabung, berharap masa depan lebih baik—tapi sistem moneter justru menggerogoti nilai simpanan kita. Emas: Penjaga Waktu yang Setia Sementara uang kertas merosot, emas menceritakan kisah yang berbeda. Selama lebih dari satu abad, emas mempertahankan daya belinya, mengamankan jumlah barang dan jasa yang sama seperti seratus tahun yang lalu. Sebuah koin emas dari tahun 1933, jika masih Anda pegang hari ini, tetap memiliki nilai yang setara untuk membeli kebutuhan hidup. J.P. Morgan, seorang finansir Amerika yang legendaris, pernah berkata dengan tegas: “Gold is money; everything else is credit.” Emas adalah uang; segala yang lain hanyalah kredit. Pernyataan ini kini bergema lebih keras dari sebelumnya. Harga emas baru-baru ini mencapai sekitar $2.700 per ons, menandai rekor tertinggi dalam sejarah. Kenaikan ini bukan kebetulan—ini adalah cerminan dari ketidakpercayaan yang tumbuh terhadap mata uang fiat di tengah inflasi global yang meningkat. Dunia Bergeser, Negara-negara Menimbun Emas Pergeseran ini bukan hanya dialami individu. Negara-negara besar di dunia sedang diam-diam mengubah strategi ekonomi mereka. Bank-bank sentral di Asia, dari China hingga Arab Saudi, secara diam-diam menimbun emas, menandai pergeseran strategis. China khususnya telah mengurangi kepemilikan obligasi pemerintah AS sambil mengakumulasi emas untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. Rusia, di bawah tekanan sanksi ekonomi, justru meningkatkan cadangan emasnya hingga lebih dari 32,5% dari total cadangan devisa. Emas menjadi perisai ekonomi mereka melawan volatilitas mata uang dan sanksi internasional. Blok BRICS, yang mewakili 45% populasi dunia, bertujuan mengurangi ketergantungan pada dolar. Dari 193 negara, 159 telah bergabung dalam sistem penyelesaian BRICS yang baru. Ini bukan lagi teori konspirasi—ini adalah realitas geopolitik yang sedang terjadi di depan mata kita. Utang yang Menumpuk, Kepercayaan yang Runtuh Mengapa negara-negara berbondong-bondong mencari alternatif dari dolar? Salah satu alasan utamanya adalah utang yang menumpuk hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Utang publik AS telah melonjak menjadi $35,7 triliun, atau 122% dari PDB. Yang lebih mencengangkan: Amerika Serikat membutuhkan lebih dari 200 tahun untuk mengakumulasi utang senilai $12 triliun, namun hanya butuh lima tahun untuk menggandakan angka tersebut. Di Inggris, tingkat utang mencapai 100% dari PDB—tertinggi sejak tahun 1960-an. Bedanya, utang masa kini bukan karena perang, melainkan cerminan ketidakseimbangan struktural antara pengeluaran publik dan pendapatan pajak. IMF memperingatkan bahwa utang global akan melampaui $100 triliun tahun ini—angka yang belum pernah terjadi dalam sejarah. Di AS, hanya untuk membayar bunga utang saja menghabiskan $1,2 triliun per tahun—sekitar 23% dari seluruh pendapatan pajak, tarif, dan biaya yang dikumpulkan. Ini adalah lingkaran setan: utang memicu pencetakan uang, pencetakan uang memicu inflasi, inflasi menghapus nilai simpanan rakyat. Emas Bukan Hanya untuk Disimpan Keunggulan emas bukan hanya sebagai penyimpan nilai. Sifat unik emas membuatnya vital di berbagai industri: menghidupkan teknologi dengan konduktivitasnya, membantu kesehatan dengan deteksi penyakit dan implan tahan bakteri, serta meningkatkan kedirgantaraan dengan menstabilkan suhu dan memantulkan sinar berbahaya. Artinya, permintaan terhadap emas tidak hanya datang dari investor yang mencari perlindungan nilai, tetapi juga dari industri-industri strategis yang terus berkembang. Ini membuat emas memiliki nilai intrinsik yang tidak dimiliki oleh uang kertas. Peringatan Penting: Paper Gold vs Physical Gold Namun ada satu peringatan krusial bagi siapa pun yang ingin berinvestasi emas. Tahukah Anda bahwa ada 131 ons emas kertas untuk setiap ons emas fisik yang sesungguhnya? Jika Anda berinvestasi, pastikan itu dalam bentuk emas fisik, bukan “emas kertas” yang hanya berupa sertifikat atau derivatif. Sistem keuangan modern telah menciptakan begitu banyak klaim atas emas yang sebenarnya tidak ada secara fisik. Jika suatu saat terjadi rush atau permintaan besar-besaran untuk menebus emas fisik, sistem ini bisa runtuh seperti rumah kartu. Pelajaran dari Sejarah Sejarah menunjukkan pola yang jelas: mata uang fiat cenderung terdevaluasi seiring waktu. Ekonom Austria Friedrich Hayek pernah mencatat dengan tajam: “The gold standard has been destroyed chiefly because it was an obstacle to inflation”—standar emas dihancurkan terutama karena menjadi penghalang bagi inflasi. Pemerintah membutuhkan fleksibilitas untuk mencetak uang guna membiayai program-program mereka, membayar utang, atau merangsang ekonomi. Standar emas membatasi fleksibilitas ini. Maka standar emas pun ditinggalkan. Peter Schiff, seorang ekonom dan kritikus vokal sistem fiat, berargumen bahwa cacat bawaan dalam mata uang fiat akan mengarah pada pergeseran tak terhindarkan menuju uang yang dijamin dengan aset. Kita sedang menyaksikan pergeseran ini terjadi di depan mata kita. Waktu Itu Amanah—Dijaga, Bukan Dibiarkan Kembali ke metafora jam pasir kita di awal. Setiap butir pasir yang jatuh adalah waktu yang berlalu. Waktu yang kita gunakan untuk bekerja, berkeringat, berjuang menghidupi keluarga. Nilai dari waktu itu seharusnya dijaga, bukan dibiarkan terkikis oleh sistem yang secara sistematis mengurangi daya beli uang kita. Emas menawarkan sesuatu yang tidak bisa ditawarkan uang kertas: stabilitas nilai lintas generasi. Sementara mata uang fiat turun seperti pasir yang jatuh, emas tetap berdiri tegak, menjaga nilai waktu dan kerja keras kita. Ini bukan ajakan untuk meninggalkan sepenuhnya

Sharia Gold Standard

Sharia Gold Standard: 70% Akan Bertambah Perdebatan Lagi?

Wacana Kembalinya Sistem Keuangan Berbasis Emas Syar’i Pernahkah Anda membayangkan sebuah dunia di mana uang memiliki nilai intrinsik yang stabil, tidak tergerus inflasi, dan mampu memberikan keadilan ekonomi bagi semua pihak? Bagi banyak pemikir ekonomi Islam kontemporer, jawaban atas pertanyaan ini terletak pada sebuah konsep yang telah terbukti bertahan selama lebih dari 13 abad: sistem dinar emas dan dirham perak, atau yang kini dikenal sebagai Sharia Gold Standard. Di tengah ketidakstabilan sistem keuangan global yang terus berulang—krisis demi krisis yang melanda dunia dengan interval yang semakin pendek—pertanyaan mengenai kemungkinan kembalinya sistem moneter berbasis emas syar’i bukan lagi sekadar nostalgia historis. Ia menjadi diskursus serius yang layak dikaji secara mendalam, baik dari perspektif ekonomi, syariah, maupun realitas implementasi di era modern. Jejak Emas dalam Sejarah Islam Untuk memahami esensi Sharia Gold Standard, kita perlu menengok ke belakang, ke masa kejayaan peradaban Islam. Sistem moneter berbasis emas dan perak bukanlah inovasi Islam, namun Islam memberikan legitimasi syar’i dan standarisasi yang jelas terhadap penggunaannya. Pada masa Rasulullah SAW, mata uang yang beredar adalah dinar emas Bizantium dan dirham perak Persia. Kedua mata uang ini kemudian diadopsi dan digunakan dalam berbagai ketentuan syariah, mulai dari perhitungan zakat, mahar, diyat (denda), hingga nisab kepemilikan harta. Rasulullah SAW sendiri bersabda: “Sistem timbangan dan takaran adalah sistem yang digunakan oleh penduduk Madinah.” Pernyataan ini menunjukkan pengakuan terhadap standar yang telah ada. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menetapkan hubungan berat standar antara dinar dan dirham: 7 dinar harus setara (dalam berat) dengan 10 dirham. Standar ini kemudian diabadikan secara formal ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar dan dirham Islam pertama pada sekitar tahun 696 Masehi. Dinar Islam memiliki berat 4,25 gram emas murni (24 karat), sementara dirham memiliki berat 2,975 gram perak murni. Yang menarik, standar berat ini bukanlah angka sembarangan. Ia didasarkan pada butir jelai (habbah) sebagai satuan terkecil. Satu mithqal (dinar) setara dengan 72 butir jelai, sementara dirham setara dengan 50,4 butir jelai. Sistem metrik yang natural ini menunjukkan bagaimana Islam membangun fondasi ekonomi yang terukur dan dapat diverifikasi oleh siapa saja. Sistem dinar-dirham ini kemudian menjadi tulang punggung perdagangan internasional selama berabad-abad. Dari Andalusia di Barat hingga Asia Tenggara di Timur, dinar menjadi mata uang yang dihormati dan diterima secara universal. Stabilitas nilainya yang luar biasa tercermin dalam sebuah fakta mencengangkan: dengan 1 dinar pada masa Rasulullah SAW, seseorang dapat membeli seekor kambing. Pada tahun 2000-an, dengan nilai emas setara 1 dinar (sekitar 4,25 gram emas), seseorang masih dapat membeli seekor kambing. Inilah yang disebut sebagai stabilitas nilai riil lintas generasi. Runtuhnya Standar Emas Global Untuk memahami urgensi diskusi mengenai Sharia Gold Standard, kita perlu memahami bagaimana sistem moneter dunia berevolusi—atau dalam pandangan banyak ekonom Islam, berdeviasi—dari prinsip nilai intrinsik. Sistem bimetalik (emas dan perak) mendominasi perdagangan dunia hingga abad ke-20. Namun, Perang Dunia I mengubah segalanya. Negara-negara Eropa menangguhkan konvertibilitas mata uang mereka ke emas untuk membiayai perang. Setelah perang, muncul upaya kembali ke standar emas, namun tidak berlangsung lama. Titik balik terbesar terjadi pada 1944 dengan Bretton Woods Agreement. Sistem ini menetapkan bahwa semua mata uang akan dikaitkan dengan dolar AS, sementara dolar AS sendiri dapat ditukar dengan emas pada nilai tetap: $35 per troy ounce. Namun, sistem ini pun runtuh pada 15 Agustus 1971 ketika Presiden Richard Nixon secara sepihak mengumumkan penghentian konversi dolar ke emas—peristiwa yang dikenal sebagai “Nixon Shock”. Sejak 1971, dunia memasuki era fiat money secara penuh, di mana mata uang tidak lagi memiliki backing apapun kecuali kepercayaan pada otoritas penerbitnya. Uang kertas kini hanya selembar kertas yang nilainya ditentukan oleh kebijakan pemerintah dan bank sentral, bukan oleh nilai intrinsik logam mulia. Konsekuensinya? Dalam 50 tahun penggunaan fiat money (1971-2021), dunia mengalami setidaknya 8 kali krisis ekonomi besar. Bandingkan dengan 13 abad penggunaan standar emas dalam sejarah Islam, yang hanya tercatat mengalami satu krisis besar pada masa Dinasti Mamluk. Statistik ini menjadi argumen kuat bagi pendukung kembalinya sistem moneter berbasis emas. Anatomi Krisis: Mengapa Fiat Money Problematik? Untuk memahami mengapa banyak ekonom Islam mengkritik sistem fiat money, kita perlu membedah tiga pilar fundamental yang menjadi sumber masalahnya. Pertama: Riba dan Sistem Bunga Dalam sistem perbankan konvensional, uang diciptakan melalui mekanisme fractional reserve banking. Bank hanya perlu menyimpan sebagian kecil dari deposit (misalnya 10%) dan dapat meminjamkan sisanya dengan bunga. Sistem ini memiliki kelemahan mendasar: total uang yang harus dikembalikan (pokok + bunga) akan selalu lebih besar dari total uang yang beredar. Dalam terminologi matematika ekonomi, jika R adalah total kebutuhan uang (untuk membayar hutang + bunga) dan G adalah total jumlah uang beredar, maka dalam sistem bunga selalu berlaku R > G. Ini menciptakan situasi zero-sum game di mana seseorang harus gagal bayar agar yang lain bisa membayar hutangnya. Inilah yang disebut sebagai “default by design”—sistem yang secara inheren mendorong kegagalan bisnis. Syariah Islam melarang riba karena memahami dengan sangat baik konsekuensi destruktif dari sistem ini. Bunga menciptakan pengalihan kekayaan yang tidak adil dari sektor riil ke sektor finansial, dari peminjam ke pemberi pinjaman, tanpa adanya risk-sharing yang proporsional. Kedua: Pemisahan Sektor Moneter dari Sektor Riil Salah satu penyebab utama krisis keuangan berulang adalah pemisahan sektor moneter dari sektor riil. Dalam ekonomi konvensional modern, sebagian besar aktivitas keuangan terjadi di pasar derivatif, future trading, dan berbagai instrumen finansial yang tidak terkait dengan aset riil. Beberapa literatur menyebutkan bahwa jarak antara sektor riil dan sektor moneter mencapai 9 kali lipat—artinya, untuk setiap $1 aktivitas ekonomi riil (produksi barang dan jasa), terdapat $9 aktivitas di sektor finansial. Kondisi ini menciptakan bubble ekonomi yang mudah meledak. Ketika ekspektasi di pasar finansial tidak sesuai dengan kondisi ekonomi riil, terjadilah krisis seperti subprime mortgage 2008. Islam memiliki prinsip fundamental: “sektor moneter dan sektor riil harus terkait”. Dalam transaksi jual beli, uang dan barang (ma’qud ‘alaih) harus tersedia karena keduanya merupakan rukun yang wajib ada. Ini mengapa future trading dan margin trading yang tidak diikuti pengiriman barang dianggap tidak sah dalam fiqh muamalah. Ketiga: Inflasi dan Erosi Nilai Fiat money memiliki kelemahan struktural: nilainya terus tergerus oleh inflasi. Data menunjukkan bahwa dalam 40 tahun terakhir, rupiah mengalami penurunan daya beli sebesar 8%

Perjalanan Emas sebagai Mata uang : Pelajaran 4000 Tahun Lindungi Kekayaan yang tak pernah terinflasi

Ketika Babilonia mencetak koin emas pertama sekitar 600 SM, mereka tidak hanya menciptakan alat tukar, mereka memulai sebuah legasi yang akan bertahan lebih lama dari kerajaan mereka sendiri. Ribuan tahun kemudian, emas masih berdiri tegak, melewati kejatuhan imperium, revolusi ekonomi, dan transformasi digital yang mengubah wajah dunia. Apakah Perjalanan emas begitu berpengaruh terhadap inflasi? Perjalanan Singkat Emas Melintasi Peradaban Bayangkan tahun 1760 Sebelum Masehi—jauh sebelum teknologi digital atau bahkan sistem perbankan modern—Raja Hammurabi sedang menyusun sebuah dokumen monumental di Mesopotamia. Code of Hammurabi bukan sekadar kumpulan hukum, melainkan formalisasi pertama peran uang dalam struktur masyarakat. Ini adalah momen historis ketika manusia sepakat: ekonomi membutuhkan standar, dan standar membutuhkan kepercayaan. Dan sejak saat itu, emas telah menjadi simbol kepercayaan tersebut. Pelajaran Krusial dari Abad ke-21 Inilah yang membuat emas relevan hari ini: pelajaran keras dari krisis modern yang memvalidasi kebijaksanaan ribuan tahun. 1. Perjalanan Emas saat Krisis Keuangan 2008: Ketika Sistem Modern Runtuh Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar di dunia, kolaps dalam semalam. Triliunan dolar aset menguap. Sistem perbankan yang dianggap “terlalu besar untuk gagal” ternyata rapuh. Sementara itu, emas naik 25% dalam setahun setelah krisis—melindungi mereka yang memilikinya. Pelajaran: Institusi modern bisa runtuh, tetapi emas tetap berdiri. Bank sentral dunia hingga kini masih memegang sepertiga dari seluruh emas dunia (1,140 juta ounce)—bukan tanpa alasan. Mereka tahu bahwa emas adalah “war chest” yang dapat dimanfaatkan dalam kekacauan mata uang global. 2. Pandemi COVID-19 (2020-2023): Inflasi yang Menghancurkan Daya Beli Ketika pandemi melanda, bank sentral di seluruh dunia mencetak uang dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hasilnya? Inflasi global yang menghancurkan tabungan masyarakat. Di Indonesia, inflasi mencapai 5.51% pada 2022. Di AS, inflasi menyentuh 9.1%—tertinggi dalam 40 tahun. Namun, emas bereaksi berbeda. Harga emas mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa, melampaui $2.100 per ounce. Mereka yang menyimpan kekayaan dalam emas tidak hanya terlindungi, tetapi juga melihat nilai aset mereka meningkat. Pelajaran: John Maynard Keynes pernah mengingatkan, “Melalui proses inflasi yang berkelanjutan, pemerintah dapat menyita, secara diam-diam dan tidak teramati, bagian penting dari kekayaan warganya.” Emas adalah jawaban terhadap pencurian tersembunyi ini. Ketika Rp10 juta hari ini tidak sama dengan Rp10 juta lima tahun mendatang, emas mempertahankan daya belinya. 3. Ketidakstabilan Geopolitik: Perang Dagang hingga Konflik Dari perang dagang AS-China, konflik Rusia-Ukraina, hingga ketegangan di Timur Tengah—ketidakpastian geopolitik telah mendorong investor mencari “safe haven”. Setiap kali krisis geopolitik memuncak, harga emas naik. Bukan kebetulan—ini refleksi dari kepercayaan ribuan tahun bahwa emas adalah aset teraman saat dunia bergolak. Pelajaran: Dalam dunia yang semakin tidak dapat diprediksi, emas menawarkan stabilitas yang tidak dapat dijanjikan oleh mata uang fiat atau bahkan saham teknologi. George Bernard Shaw pada 1928 menulis: “Anda harus memilih antara mempercayai stabilitas natural emas dan kejujuran serta kecerdasan anggota pemerintah. Saya menyarankan Anda memilih emas.” 4. Era Digital: Emas Bertransformasi, Bukan Tergantikan Cryptocurrency muncul dengan janji desentralisasi dan kebebasan dari kontrol pemerintah. Bitcoin disebut “digital gold”. Namun volatilitasnya yang ekstrem—bisa naik 100% atau turun 70% dalam setahun—membuktikan bahwa ia lebih seperti aset spekulatif daripada penyimpan nilai. Di sinilah evolusi terjadi: gold-backed cryptocurrency menggabungkan keunggulan teknologi blockchain dengan stabilitas emas. Platform seperti NUNOMICS.id hadir sebagai solusi yang menghubungkan dunia fisik dan digital—memungkinkan Anda memiliki, menyimpan, dan bertransaksi dengan emas melalui teknologi modern tanpa kehilangan nilai intrinsiknya. Pelajaran: Teknologi adalah alat, bukan pengganti. Emas tidak bersaing dengan Bitcoin—ia melengkapi portofolio modern sebagai fondasi yang tidak tergoyahkan. Imam al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah mengajarkan bahwa uang adalah alat, bukan tujuan. NUNOMICS.id mewujudkan prinsip ini: teknologi sebagai medium untuk mengakses stabilitas emas. Mengapa Ini Penting untuk Anda Hari Ini? Akuntabilitas Fiskal yang Hilang: Di bawah standar emas, pemerintah menghadapi batasan fundamental—mereka harus menjalankan anggaran berimbang karena setiap lembar mata uang harus di-backing oleh emas fisik. Ludwig von Mises menyebutnya sebagai “perlindungan terhadap pemerintah yang boros.” Tapi hari ini, dengan sistem fiat money, tombol “print money” praktis tanpa batas. Butuh dana stimulus? Print. Defisit membengkak? Print lagi. Dan siapa yang membayar tagihan ini? Rakyat—melalui inflasi yang menggerogoti daya beli secara diam-diam. Uang di rekening Anda tetap terlihat sama, tapi kemampuannya membeli barang berkurang setiap tahun. Ini bukan pajak resmi, tapi efeknya sama: transfer kekayaan dari kantong Anda ke kas negara. Financial Repression:  Alan Greenspan, mantan Ketua Federal Reserve AS, pernah menulis: “Deficit spending hanyalah skema untuk penyitaan kekayaan. Emas menghalangi proses berbahaya ini.” Ya, orang yang memimpin bank sentral paling powerful mengakui bahwa sistemnya adalah mekanisme transfer kekayaan terselubung. Dari 1945 hingga 1980, suku bunga riil negatif telah merugikan pemberi pinjaman sekitar 3-4% dari PDB per tahun—transfer masif dari penabung ke peminjam (pemerintah). Kalau Anda punya tabungan dengan bunga 3% tapi inflasi riil 5%, Anda sebenarnya kehilangan 2% daya beli per tahun—terus-menerus. Emas menjadi “musuh” sistem ini karena tidak bisa dimanipulasi: pemerintah tidak bisa mencetak emas, tidak bisa menurunkan “suku bunga emas.” Emas adalah opt-out dari permainan yang sedang Anda mainkan—bahkan tanpa tahu Anda sedang bermain. Stabilitas Jangka Panjang:  Mari bicara fakta keras: Sejak 1971, dolar AS telah kehilangan lebih dari 85% daya belinya—$100 di tahun 1971 hari ini hanya bernilai sekitar $15 dalam daya beli riil. Sementara itu, emas telah naik lebih dari 5,000% dalam periode yang sama, dari $35 per ounce menjadi lebih dari $2,000. Ini bukan karena emas “naik”—yang sebenarnya terjadi adalah mata uang fiat turun, dan emas hanya mencerminkan depresiasi itu. Ini bukan tentang spekulasi atau menjadi “gold bug” fanatik—ini tentang memahami permainan yang sedang dimainkan di belakang layar dan membuat keputusan yang melindungi kerja keras Anda dari erosi nilai yang sistematis. Karena pertanyaannya bukan “Apakah emas akan naik?” tetapi “Apakah mata uang Anda akan terus turun?”—dan sejarah 50 tahun terakhir sudah menjawabnya dengan sangat jelas. Tindakan Konkret untuk Sahabat NUNOMICS Sejarah telah berbicara melalui 26 abad: dari Code of Hammurabi hingga blockchain, dari Babilonia hingga bank sentral modern. Pertanyaannya bukan lagi “apakah emas relevan?” tetapi “seberapa besar porsi emas dalam portofolio Anda?” Bank sentral global tahu jawabannya—mereka memegang rata-rata 30% total cadangan mereka dalam bentuk emas yang tidak menghasilkan bunga. Jika penjaga sistem keuangan dunia menempatkan kepercayaan pada emas, mengapa Anda tidak? Di era ketidakpastian—inflasi yang merajalela, ketegangan geopolitik, dan manipulasi

Investasi Emas untuk Generasi Z: 7 Panduan Lengkap Persiapan & Tips Jitu

Hai Penggiat Investasi! Masih bingung mau investasi apa di era yang serba tidak pasti ini? Emas bisa jadi pilihan yang solid, lho! Meskipun terdengar kuno, investasi emas tetap relevan bahkan untuk generasi yang lahir di era digital seperti kita. Yuk, simak panduan lengkapnya! Kenapa Emas Masih Layak untuk Generasi Z? Di tengah volatilitas pasar kripto dan saham yang bikin jantung berdebar, emas menawarkan stabilitas yang kita butuhkan. Memiliki alokasi emas yang tepat dalam portofolio investasi bisa menguntungkan tahun ini, kata para ahli. Di tahun 2024, harga emas meroket ke rekor tertinggi. Di tahun 2025, emas melanjutkan performa kuatnya dan bergerak di atas 3.000 dolar, menunjukkan performa yang solid. Investasi emas menawarkan diversifikasi, lindung nilai terhadap inflasi, dan stabilitas selama pasar naik karena korelasinya yang rendah dengan aset lain. Plus, dengan teknologi sekarang, investasi emas tidak harus ribet seperti zaman dulu! Persiapan Wajib Sebelum Investasi Emas 1. Tentukan Tujuan Keuangan & Waktu Investasi Tentukan dulu tujuan investasimu: apakah untuk dana darurat, dana menikah, atau persiapan pensiun? Jangka waktu ini penting karena emas lebih cocok untuk investasi jangka menengah hingga panjang (minimal 3-5 tahun). 2. Siapkan Dana Darurat Sebelum masuk ke investasi emas, pastikan kamu sudah punya dana darurat minimal 3-6 bulan pengeluaran. Emas memang stabil, tapi likuiditasnya tidak secepat rekening tabungan. 3. Riset & Edukasi Pelajari faktor-faktor yang mempengaruhi harga emas: kondisi ekonomi global, inflasi, nilai tukar USD, dan geopolitik. Ekspansi ekonomi: positif untuk konsumsi emas karena ekonomi yang berkembang meningkatkan permintaan untuk perhiasan dan elektronik, sementara risiko dan ketidakpastian: emas cenderung bersinar di masa risiko tinggi dan ketidakpastian. Ikuti akun-akun finansial yang kredibel dan baca artikel ekonomi secara rutin. 4. Pilih Platform Investasi Pilih platform investasi emas yang terpercaya dan sesuai dengan gaya investasimu. Ada berbagai pilihan: emas fisik, emas digital, dana investasi emas, atau reksa dana emas. Tips & Trik Investasi Emas untuk Pemula 1. Mulai Kecil, Berpikir Besar Pertimbangkan untuk memulai dengan investasi sederhana untuk mengurangi risiko dan mendapat pengalaman. Mulai dengan nominal yang tidak membuat kamu stres. Mulai dengan alokasi portofolio 5-10%, banyak platform sekarang yang memungkinkan investasi emas mulai dari Rp10.000. Yang penting konsisten! 2. Strategi Rata-rata Biaya (DCA) Beli emas secara rutin dengan nominal tetap, misalnya Rp500.000 setiap bulan. Dengan emas di rekor tertinggi tahun 2025, rata-rata biaya membantu mengatur waktu masuk sambil mengurangi risiko waktu pasar dan rata-rata harga pembelian. 3. Diversifikasi Bentuk Investasi Emas Ada beberapa cara untuk berinvestasi dalam logam mulia ini, termasuk membeli emas fisik seperti batangan dan koin emas, berinvestasi di perusahaan yang menambang dan memproduksi produk emas, dan berinvestasi dalam dana investasi emas. Jangan taruh semua telur dalam satu keranjang. Kombinasikan emas fisik (untuk jaga-jaga) dan emas digital (untuk kemudahan transaksi). 4. Pantau Tapi Jangan Obsesif Cek harga emas secara berkala, tapi jangan sampai jadi stres memantau terus. Ingat, investasi emas adalah permainan jangka panjang! 5. Waktu Penting (Tapi Bukan Segalanya) Meskipun waktu tidak sepenuhnya menentukan, teliti tren pasar emas saat ini dan data harga historis untuk menginformasikan waktu investasi kamu. Perhatikan momen-momen seperti: 6. Pertimbangkan Implikasi Pajak Pahami aspek pajak dari investasi emas. Di Indonesia, keuntungan dari investasi emas digital biasanya dikenai pajak penghasilan. 7. Jaga Keamanan Emas Fisik Jika memilih emas fisik, pastikan penyimpanannya aman. Pertimbangkan safe deposit box di bank atau brankas di rumah yang berkualitas. Bendera Merah yang Harus Dihindari Penting untuk diingat bahwa emas atau perak atau logam lainnya bukanlah tempat yang “aman” untuk menyimpan kekayaan kamu. Seperti komoditas lainnya, harga logam mulia naik ketika permintaan naik, jadi ketika kecemasan atau ketidakstabilan ekonomi tinggi, orang yang biasanya mendapat keuntungan dari logam mulia adalah para penjualnya. Waspadai juga: Siap Memulai Perjalanan Investasi Emas? Mau mulai investasi emas tapi masih bingung cara yang aman dan sesuai syariat? NUNOMICS.id adalah solusinya! Sebagai jaringan ekosistem digital syariah yang dibentuk atas inisiatif generasi pejuang Nahdlatul Ulama, NUNOMICS hadir khusus untuk meningkatkan kualitas hidup muslim Indonesia. Kenapa harus pilih NUNOMICS untuk investasi emas? 🏆 Tabungan Emas Fisik yang Terpercaya ✨ Insya Allah Amanah & Berkah 🎯 Fitur Lengkap dalam Satu Ekosistem Jangan cuma jadi penonton di permainan finansial ini! Unduh aplikasi NUNOMICS sekarang dan mulai perjalanan investasi emas yang berkah. Karena investasi yang baik bukan hanya menguntungkan dunia, tapi juga akhirat! Kunjungi NUNOMICS.id untuk info lengkap dan mulai tabungan emas fisik pertama kamu hari ini! 💎📱 Kesimpulan Investasi emas bisa jadi pilihan yang cerdas untuk Generasi Z yang ingin diversifikasi portofolio. Kunci suksesnya adalah persiapan yang matang, strategi yang tepat, dan konsistensi jangka panjang. Ingat, investasi adalah maraton, bukan lari cepat! Tinjauan Pustaka :https://www.forbes.com/uk/advisor/investing/is-gold-a-good-investment/https://www.youtube.com/watch?v=aLMnRjVtC7U

Nabung Emas Syariah

Aplikasi Nabung Emas Syariah: Peluang Besar untuk Indonesia

Indonesia, dengan lebih dari 272 juta penduduk dan mayoritas Muslim, sebenarnya menyimpan potensi luar biasa untuk layanan keuangan syariah. Kalau dibandingkan, Malaysia sudah lebih dulu jadi pemain utama di kawasan dalam hal investasi emas syariah. Sementara itu, pasar Indonesia yang jauh lebih besar justru masih bisa dibilang “belum tergarap maksimal.” Faktor digitalisasi layanan keuangan yang sangat cepat, ditambah semakin banyak anak muda yang peduli soal prinsip keuangan Islam, membuat peluang ini semakin nyata. Bayangkan kalau investasi emas syariah bisa diakses lewat aplikasi mobile—murah, mudah, aman, dan sesuai syariah. 1. Belajar dari Malaysia Malaysia bisa dibilang role model dalam pengembangan produk emas syariah. Abas dkk. (2023) menemukan bahwa lembaga keuangan di sana sukses mengaplikasikan beberapa akad syariah, seperti: Hasilnya? Produk emas syariah di Malaysia bukan hanya patuh syariah, tapi juga dipercaya masyarakat. Itu membuktikan bahwa emas bisa jadi instrumen investasi yang aman, transparan, dan relevan bagi umat Muslim. 2. Pengalaman Malaysia: Pelajaran untuk Indonesia Perjalanan Malaysia dalam mengembangkan produk investasi emas syariah menawarkan wawasan berharga untuk Indonesia. Penelitian oleh Abas et al. (2023) mengungkapkan bahwa institusi keuangan Malaysia telah berhasil mengimplementasikan berbagai kontrak syariah dalam model investasi emas mereka, termasuk: Kontrak-kontrak ini membentuk fondasi produk investasi emas syariah yang sukses dan telah mendapat daya tarik signifikan di antara Muslim Malaysia. Model Malaysia menunjukkan bahwa dengan kepatuhan syariah yang tepat dan pengawasan regulasi, investasi emas dapat berfungsi sebagai alat pelestarian kekayaan dan opsi investasi yang dapat diakses untuk komunitas Muslim. 3. Kondisi Indonesia: Tantangan & Peluang Indonesia punya profil demografi yang menarik: 64% penduduknya di bawah usia 35 tahun. Artinya, mereka digital savvy dan terbiasa dengan aplikasi keuangan. Tapi, ada masalah klasik—tingkat kesadaran tentang investasi emas syariah masih belum tinggi. Penelitian di Malaysia (Jusoh & Harun, 2024) menunjukkan pola yang mirip: banyak anak muda menganggap emas itu aset penting, tapi hanya sebagian kecil yang benar-benar paham detail investasi emas syariah. Kalau di Indonesia, ini berarti edukasi harus jalan beriringan dengan teknologi. 4. Peran Aplikasi Digital Aplikasi mobile bisa jadi game changer untuk mendorong inklusi keuangan syariah. Beberapa manfaat utamanya antara lain: 5. Apa yang ditawarkan NUNOMICS? Lebih penting lagi, NUNOMICS sudah dapat rekomendasi dari BAPPEBTI dan menjalankan sistem sesuai regulasi. Ini menjawab isu utama: kepercayaan. Kesimpulan Indonesia sedang berada di momentum emas—secara harfiah. Populasi besar, minat generasi muda pada digital finance, dan kesadaran akan prinsip syariah menjadi kombinasi yang pas. Kalau kita bisa menggabungkan edukasi, regulasi yang jelas, serta teknologi yang aman, aplikasi investasi emas syariah bisa jadi katalis inklusi keuangan dan kemandirian ekonomi umat. Kehadiran NUNOMICS membuktikan bahwa ide ini bukan sekadar teori. Dengan kolaborasi pesantren, regulator, dan teknologi modern, investasi emas syariah bisa jadi pintu masuk menuju ekosistem keuangan Islam yang lebih kuat di Indonesia. Pada akhirnya, kuncinya ada di keseimbangan: inovasi harus tetap berpijak pada tradisi. Dengan begitu, teknologi modern benar-benar bisa melayani prinsip Islam yang abadi.

Investasi Anak Muda

Kenapa Anak Muda Sekarang Rajin Investasi? Ternyata Ada 4 Alasan Kuat di Baliknya

Akhir-akhir ini obrolan soal investasi kayaknya makin gampang ditemuin. Di kampus, di kantor, bahkan nongkrong di warung kopi, topik saham dan reksadana udah nggak asing lagi. Bedanya, generasi sekarang kelihatan jauh lebih berani dan aktif terjun ke dunia investasi dibanding generasi sebelumnya. Pertanyaannya: apa sih yang bikin mereka segitu semangatnya? Sekadar ikut tren, atau memang ada perubahan cara pandang yang lebih dalam tentang uang? 1. Motivasi: Mesin Utama di Balik Keputusan Ada sebuah penelitian berjudul “Determining Factors for Young Investors to Invest in the Capital Market” yang ngasih jawaban menarik. Dari banyak faktor yang diteliti, motivasi personal ternyata jadi penentu paling besar. Tapi jangan salah, motivasi di sini bukan cuma “pengen cepat kaya”. Banyak anak muda justru punya target konkret: ingin mandiri finansial sebelum umur 30, pengen punya dana darurat yang aman, atau bahkan bermimpi bisa financial freedom lebih cepat. Buat sebagian, investasi juga jadi cara biar nggak selamanya bergantung sama gaji bulanan. Tentu saja ada faktor lain—kayak literasi keuangan, minat pribadi, pengaruh lingkungan, sampai kebiasaan mengelola uang. Tapi pada akhirnya, motivasi internal yang bikin mereka tahan banting. Bahkan ketika pasar lagi merah, motivasi ini yang bikin mereka tetap jalan. 2. Lima Faktor yang Saling Nempel Kalau dibedah lebih dalam, ada lima hal yang jalan bareng: Kelima faktor ini, kalau digabung, hampir menjelaskan keseluruhan pola investasi anak muda. Jadi jelas, keputusan mereka bukan spontan atau ikut-ikutan doang, tapi hasil interaksi faktor yang cukup kompleks 3. Teknologi: Game Changer yang Nggak Bisa Diabaikan Thomas Kehl, salah satu content creator di bidang finansial, pernah bilang kalau digitalisasi adalah faktor terbesar yang bikin investasi makin ramah buat generasi muda. Ada tiga hal yang dia tekankan: 4. Jadi, Ini Cuma Tren? Kalau dilihat sekilas, bisa aja orang mikir “ah, ini cuma tren”. Tapi data dan realitas di lapangan nunjukin sebaliknya. Ada motivasi mendalam, akses informasi yang terbuka, dan dukungan komunitas yang kuat. Kombinasi ini bikin investasi bukan cuma gaya hidup sementara, tapi bagian dari cara generasi baru mengelola masa depan. Mereka nggak investasi karena terpaksa atau ikut-ikutan, tapi karena sadar kalau melek finansial itu life skill yang penting. Dan dengan tools digital yang sekarang tersedia, mereka merasa lebih punya kontrol atas masa depan finansialnya. Kesimpulan Bagi industri keuangan, tren ini jelas jadi peluang besar. Produk dan layanan yang ramah digital, transparan, dan terjangkau pasti lebih disukai anak muda. Regulator pun punya PR untuk bikin aturan yang sesuai dengan pola pikir generasi ini. Yang paling penting, semangat anak muda buat investasi perlu diarahkan ke jalur yang benar. Dengan edukasi dan instrumen yang tepat, mereka bisa tumbuh jadi generasi yang lebih melek finansial dan mandiri. Pada akhirnya, ini bukan cuma soal return atau nilai portofolio. Lebih dari itu, ini soal bagaimana satu generasi belajar ambil tanggung jawab atas hidup mereka—termasuk soal keuangan. Dan kalau dipikir-pikir, itu kabar baik buat masa depan ekonomi kita. Tinjauan Pustaka :Awaluddin, Murtiadi & Molina, & Nurlia, Nurlia & Wahyuni,. (2023). Determining Factors for Young Investors to Invest in the Capital Market. International Journal of Professional Business Review. 8. e01964. 10.26668/businessreview/2023.v8i5.1964.  TEDx Talks. (2024, January 5). How to start investing—responsibly | Thomas Kehl | TEDxHSGSalon [Video]. YouTube.

Scroll to Top