Komoditas Emas dalam Syariah: Sejak 25 Tahun Lalu Emas Bukan Sekedar Komoditas, Tapi Alat Nilai
Di tengah maraknya tren investasi emas yang dipromosikan sebagai komoditas kekinian, ada satu hal mendasar yang sering terlupakan: dalam perspektif syariah, emas sejatinya bukan sekadar produk investasi atau komoditas perdagangan. Emas adalah alat ukur nilai, standar yang telah ditetapkan sejak masa Rasulullah saw. hingga kini. Banyak orang melihat emas hanya dari kacamata pasar—naik turun harga, spekulasi, profit jangka pendek. Padahal, fungsi utama emas dalam fikih jauh lebih fundamental daripada sekadar aset yang diperjualbelikan. Emas adalah miqyas, tolok ukur nilai yang stabil dalam sistem ekonomi Islam. Emas sebagai Standar Nilai dalam Fikih Dalam literatur fikih klasik, emas dan perak disebut sebagai tsaman haqiqi atau harga sejati. Keduanya bukan sekadar benda berharga, tetapi standar nilai yang digunakan untuk mengukur harga barang dan jasa lainnya. Ini berbeda dengan uang kertas atau mata uang lain yang nilai intrinsiknya bisa berubah sesuai kebijakan moneter atau kondisi ekonomi. Para ulama sepakat bahwa emas memiliki posisi khusus dalam muamalah. Ia digunakan sebagai patokan dalam nisab zakat, mahar pernikahan, diyat, hingga standar hukum berbagai transaksi. Mengapa? Karena nilainya relatif stabil dan diakui secara universal sejak zaman Nabi Muhammad saw. Bahkan dalam sejarah, mata uang pada sebagian besar abad ke-19 hingga Perang Dunia I didukung oleh emas, sebagaimana terlihat dalam standar emas global yang menjadi indikator nilai yang dapat diandalkan. Ketika kita melihat emas sebagai standar nilai, bukan sebagai komoditas spekulatif, maka seluruh transaksi yang melibatkan emas menjadi lebih jelas dan adil. Tidak ada lagi permainan harga yang membingungkan, tidak ada manipulasi pasar, tidak ada unsur gharar atau ketidakpastian yang merugikan salah satu pihak. Transaksi Emas: Jernih dari Gharar Salah satu hikmah terbesar dari memahami emas sebagai alat nilai adalah kemurnian transaksi. Dalam fikih, jual beli emas memiliki ketentuan yang sangat ketat: harus yadan bi yadin (tunai), harus mitslan bi mitslin (sejenis dan setara) jika menukar emas dengan emas, dan harus dilakukan di tempat (majlis akad). Kenapa begitu ketat? Karena syariah ingin menjaga agar transaksi emas tidak menjadi ajang spekulasi atau riba. Emas bukan untuk dipermainkan dengan skema utang-piutang berjangka atau leverage. Emas adalah alat tukar yang harus dijaga kesuciannya dari unsur-unsur yang merusak keadilan ekonomi. Berdasarkan hadis ‘Ubadah bin al-Samit RA, Rasulullah saw bersabda: “(Ditukar) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama (jumlahnya) untuk yang sama, setara (kuantitasnya) untuk setara, tangan (dikirim) untuk tangan. Jika jenis-jenis ini berbeda, juallah sesuka Anda dan jangan menunda penyerahannya.” (Bulugh al-Maram, Kitab 7, Hadis 833). Ini menegaskan bahwa transaksi emas harus bebas dari riba al-nasiah (riba karena penundaan) dan harus dilakukan secara tunai. Di sinilah kita melihat bagaimana syariah memberi fondasi yang kokoh. Bukan sekadar aturan ritual, tapi sistem yang melindungi hak semua pihak dalam bertransaksi. Ketika emas diperlakukan sesuai prinsip syariah, maka tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang dieksploitasi. Bahkan dalam konteks digital sekarang, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Malaysia telah membolehkan penyerahan emas melalui akun digital sebagai bentuk penyerahan yang sah, asalkan transfer kepemilikan terjadi tanpa penundaan. Bukan Tren Hijrah, Tapi Fondasi Sejak Awal Belakangan ini, banyak yang menyebut kembali ke sistem berbasis emas sebagai bagian dari “hijrah finansial”. Seolah-olah ini adalah hal baru, sebuah gerakan modern untuk meninggalkan sistem konvensional. Padahal, ini bukan tren. Ini fondasi. Sejak awal Islam turun, emas sudah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi umat. Dinar dan dirham—koin emas dan perak—adalah mata uang resmi yang digunakan dalam berbagai transaksi pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Sistem ini bertahan ratusan tahun karena memang dibangun di atas prinsip keadilan dan stabilitas. Jadi, ketika kita bicara tentang kembali ke standar emas, kita bukan sedang mengikuti tren. Kita sedang kembali kepada prinsip yang sudah teruji selama empat belas abad. Prinsip yang tidak bergantung pada gejolak politik, inflasi mata uang fiat, atau kebijakan bank sentral yang sewaktu-waktu bisa berubah. Tantangan Investasi Emas Digital: Pelajaran dari Kasus Quantum Metal Seiring perkembangan teknologi, investasi emas kini telah berevolusi ke dalam bentuk digital. Platform seperti Quantum Metal Sdn. Bhd. (QMSB) menawarkan kemudahan investasi emas secara online. Namun, kemudahan ini harus disertai kehati-hatian ekstra. Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa platform investasi emas digital menghadapi masalah serius terkait kepatuhan syariah dan hukum. Salah satu isu krusial adalah penundaan pembayaran kepada investor yang melanggar prinsip taqabudh (pemilikan segera). Penundaan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan riba al-nasiah, tetapi juga merusak kepercayaan investor. Lebih mengkhawatirkan lagi, ada platform yang tidak terdaftar di Bank Negara Malaysia (BNM) atau Suruhanjaya Sekuriti (SC), yang merupakan syarat wajib untuk beroperasi dalam bisnis perdagangan emas di Malaysia. Ketiadaan registrasi ini bukan hanya melanggar regulasi, tetapi juga mempertanyakan legitimasi operasional dari perspektif syariah. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 59 yang memerintahkan ketaatan kepada ulil amri (pemerintah yang sah), maka mengabaikan regulasi pemerintah termasuk pelanggaran syariah. Kasus seperti ini mengingatkan kita pada skandal Genneva Malaysia Sdn Bhd yang merugikan sekitar 35,000 investor dengan kerugian mencapai RM450 juta. Genneva yang mengklaim sebagai perusahaan patuh syariah ternyata melanggar Akta Institusi Perbankan dan Kewangan 1989 (BAFIA) serta terlibat dalam pencucian uang. Dari sini kita belajar: tidak semua yang mengklaim “syariah-compliant” benar-benar memenuhi standar syariah. Transparansi, kejelasan kontrak, penyerahan fisik yang jelas, dan registrasi resmi adalah hal-hal non-negotiable dalam investasi emas syariah yang sesungguhnya. Kesadaran Generasi Muda: Antara Peluang dan Tantangan Riset terbaru di Terengganu, Malaysia menunjukkan fakta menarik: generasi muda Muslim memiliki tingkat kesadaran yang moderat terhadap investasi emas syariah. Dari 120 responden berusia 18-28 tahun, mayoritas adalah mahasiswa dengan pendapatan di bawah RM500 per bulan. Temuan ini mengungkapkan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, 91% responden menyadari perbedaan antara investasi emas syariah dan konvensional. Di sisi lain, hanya 45% yang aktif membaca isu-isu terkini tentang investasi emas syariah. Yang lebih mengkhawatirkan, 26% responden masih tidak yakin atau tidak mengetahui bahwa investasi emas konvensional yang melanggar syariah adalah haram. Gap pengetahuan ini berbahaya. Ketika seseorang tahu bahwa emas itu baik sebagai investasi alternatif (89% setuju), tapi tidak memahami detail syaratnya, mereka rentan terjebak dalam skema investasi yang tidak sesuai syariah. Inilah yang terjadi pada ribuan korban Genneva—mereka tertarik pada label “syariah” tanpa memahami substansinya. Generasi muda juga menghadapi kendala finansial. Dengan








