Perubahan Tatanan Moneter Global pada 10 tahun mendatang: Antara De-Dollarisasi, BRICS, dan Pelarian ke Emas Bertambah Kuat
Selama hampir satu abad, dolar Amerika Serikat telah menjadi raja tanpa tanding dalam panggung ekonomi global. Mata uang ini menguasai hampir 90 persen transaksi valuta asing dan 48 persen pembayaran melalui sistem SWIFT. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fondasi dominasi dolar mulai berguncang. Pertanyaannya bukan lagi apakah dunia akan berhenti mengandalkan dolar, melainkan seberapa cepat pergeseran ini akan terjadi—dan apa yang akan menggantikannya. Momentum De-Dollarisasi: Dari Retorika ke Realitas Istilah “de-dollarisasi” merujuk pada pengurangan signifikan penggunaan dolar AS dalam perdagangan global dan transaksi keuangan. Tren ini bukan sekadar wacana politik, tetapi sudah menjadi strategi konkret yang diterapkan oleh berbagai negara, terutama yang tergabung dalam blok BRICS—Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Perubahan geopolitik global mempercepat proses ini. Pencabutan akses Rusia dari sistem SWIFT setelah invasi ke Ukraina, ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, serta kebijakan moneter Federal Reserve yang berdampak pada pasar global, semuanya mendorong negara-negara mencari alternatif dari sistem keuangan yang didominasi Barat. Negara-negara BRICS kini berusaha meningkatkan kemandirian finansial dan mengurangi kerentanan terhadap sanksi ekonomi AS. Langkah nyata sudah terlihat. Tiongkok dan Rusia kini melakukan sebagian besar perdagangan bilateral mereka menggunakan yuan dan rubel, sepenuhnya melewati dolar. Brasil dan Tiongkok menandatangani kesepakatan penyelesaian perdagangan yuan-real pada tahun 2023. India mulai membeli minyak Rusia menggunakan rupee. Bahkan lebih dari 95 persen perdagangan antara Rusia dan Iran pada tahun 2024 diselesaikan dalam rubel dan rial. Data menunjukkan bahwa pada Maret 2024, lebih dari setengah pembayaran Tiongkok (52,9 persen) diselesaikan dalam RMB, sementara pembayaran dalam dolar AS turun menjadi 42,8 persen. BRICS: Kekuatan Ekonomi yang Tidak Dapat Diabaikan Untuk memahami potensi de-dollarisasi, kita perlu memahami dahsyatnya kekuatan ekonomi BRICS. Pada tahun 2023, ekonomi BRICS secara kolektif menyumbang lebih dari 25 persen output ekonomi global dengan 42 persen populasi dunia. Antara tahun 1990 dan 2015, pangsa ekonomi BRICS dalam output global melonjak dari 5,85 persen menjadi 21,6 persen—transformasi yang luar biasa dalam waktu yang relatif singkat. Secara kolektif, BRICS mengendalikan sekitar 4 triliun dolar AS dalam cadangan devisa konsolidasi dan menarik sekitar 11 persen investasi asing langsung global. Proyeksi menunjukkan bahwa ekonomi BRICS berpotensi melampaui ekonomi G7 pada tahun 2050, menandakan pergeseran fundamental dalam pusat gravitasi ekonomi global dari Barat ke Timur dan Selatan. Ekspansi BRICS menambah momentum pada narasi de-dollarisasi. Pada Januari 2024, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab resmi bergabung, menjadikan blok ini BRICS-10. Indonesia menyusul sebagai anggota penuh pada Januari 2025. Perluasan ini bukan sekadar simbolis—ini merepresentasikan pergeseran serius dalam keseimbangan kekuatan ekonomi global. Institusi BRICS: Fondasi Integrasi Ekonomi Telah dibangun infrastruktur institusional yang solid untuk mendukung ambisi ekonominya. New Development Bank (NDB), yang didirikan pada tahun 2015, kini memiliki kapasitas pembiayaan sebesar 32,8 miliar dolar AS dan menyediakan bantuan keuangan untuk proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan, tidak hanya di negara-negara BRICS tetapi juga di ekonomi berkembang lainnya. Salah satu fitur distinktif NDB adalah pendekatannya dalam membiayai proyek menggunakan mata uang lokal. Pada tahun 2016, NDB mencairkan pinjaman perdananya senilai 811 juta dolar AS, dengan Brasil menerima 300 juta, Tiongkok 81 juta, India 250 juta, dan Afrika Selatan 180 juta dolar AS. Pendekatan pembiayaan dalam mata uang lokal ini tidak hanya mengurangi risiko nilai tukar tetapi juga memperkuat penggunaan mata uang BRICS—real Brasil, rubel Rusia, rupee India, renminbi Tiongkok, dan rand Afrika Selatan—dalam transaksi internasional, secara halus meletakkan dasar untuk kerja sama mata uang yang lebih besar di antara negara-negara anggota. Selain NDB, BRICS juga mendirikan Contingent Reserve Arrangement (CRA) dengan dana 100 miliar dolar AS, yang menyediakan mekanisme dukungan bersama untuk tekanan neraca pembayaran jangka pendek. Institusi-institusi ini menunjukkan komitmen serius BRICS terhadap stabilitas keuangan dan integrasi ekonomi yang lebih dalam. Realitas Mata Uang Bersama BRICS: Antara Ambisi dan Hambatan Di atas kertas, BRICS memiliki potensi besar untuk mengubah lanskap keuangan global melalui mata uang bersama. Pada KTT BRICS di Kazan, Oktober 2024, para anggota membahas pengembangan BRICS Pay, sistem pembayaran terdesentralisasi berbasis blockchain yang dirancang untuk menghubungkan sistem keuangan negara-negara anggota menggunakan mata uang digital bank sentral (CBDC). Namun, implementasi nyata jauh lebih kompleks daripada retorika. Pada KTT BRICS di Rio de Janeiro pada Juli 2025, tidak ada kemajuan konkret menuju de-dollarisasi yang serius. Deklarasi akhir tidak menyebut penciptaan mata uang bersama atau strategi terkoordinasi untuk mengurangi penggunaan dolar. Yang sebenarnya terjadi jauh lebih sederhana: penyelesaian sebagian perdagangan dalam mata uang lokal untuk mengurangi biaya dan mengurangi ketergantungan pada dolar untuk transaksi tertentu. Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva sempat menjadi pendukung vokal mata uang bersama BRICS pada KTT 2023 dan 2024. Namun, setelah ancaman tarif 100-150 persen dari Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara BRICS yang mengejar de-dollarisasi, Lula secara resmi menghapus gagasan mata uang bersama dari agenda kepresidenan BRICS Brasil 2025. Bahkan Vladimir Putin, yang sebelumnya tampak mendukung prospek ini, telah meninggalkannya. Pernyataan India juga memperjelas posisinya. Menteri Luar Negeri S. Jaishankar menjelaskan, “De-dollarisasi bukan bagian dari agenda keuangan India.” India lebih memilih strategi “derisking” perdagangan melalui diversifikasi mitra dan sistem pembayaran alternatif, bukan kemerdekaan dari dolar per se. Teori Optimum Currency Area: Mengapa Mata Uang Bersama BRICS Sulit Terwujud Untuk memahami mengapa mata uang bersama BRICS menghadapi hambatan besar, kita perlu memahami teori Optimum Currency Area (OCA). Teori yang dipopulerkan oleh Robert Mundell pada tahun 1960-an ini menetapkan kriteria spesifik yang harus dipenuhi agar kelompok negara dapat mengadopsi mata uang bersama dengan sukses. Kriteria OCA meliputi: kesamaan struktur ekonomi, tingkat keterbukaan perdagangan yang tinggi, mobilitas faktor produksi, homogenitas preferensi kebijakan, dan mekanisme transfer fiskal. Ketika diterapkan pada BRICS, analisis menunjukkan kesenjangan signifikan dalam memenuhi kriteria-kriteria ini. Keragaman ekonomi BRICS sangat ekstrem—dari ekonomi berbasis komoditas seperti Rusia dan Afrika Selatan hingga ekonomi manufaktur dan jasa seperti Tiongkok dan India. Keragaman ini meluas ke indikator ekonomi seperti tingkat inflasi, pertumbuhan PDB, dan kebijakan fiskal, yang tidak tersinkronisasi di seluruh blok. Disparitas dalam tingkat perkembangan ekonomi, tingkat inflasi, dan disiplin fiskal di antara negara-negara BRICS menimbulkan hambatan signifikan terhadap realisasi mata uang bersama dalam waktu dekat. Studi empiris memperkuat temuan ini. Penelitian tahun 2019 yang meneliti Shanghai Cooperation Organization (yang mencakup beberapa anggota BRICS) menemukan respons asimetris bank sentral terhadap guncangan internal dan




